Polisi: Antara Perisai Kekuasaan dan Manusia yang Terbelenggu

Share:

Polisi di negeri ini berdiri di panggung opera negara, memainkan peran yang tidak pernah mereka pilih. Mereka bukan penulis naskah, hanya aktor yang harus tampil di depan penonton dengan skenario yang penuh kontradiksi. Kadang diminta menjadi pelindung rakyat, kadang dipaksa menjadi benteng kekuasaan. Kadang diperintahkan untuk tersenyum ketika dilempari batu, kadang didorong untuk mengangkat pentungan saat negara merasa terancam.

Dalam posisi seperti ini, siapa yang benar-benar menang? Rakyatkah, polisi kah, atau justru elite politik yang bersembunyi di balik layar?

Serba Salah dalam Seragam

Seragam cokelat itu dulu lahir sebagai simbol ketertiban, tapi kini lebih sering dilihat sebagai tanda represi. Bagi masyarakat, polisi adalah wajah negara yang paling dekat, sekaligus yang paling mudah dibenci. Bagi penguasa, polisi adalah alat untuk menenangkan kegaduhan. Bagi polisi sendiri, seragam itu adalah beban ganda: kehormatan sekaligus kutukan.

Di jalanan, mereka menghadapi rakyat yang frustrasi. Di balik komando, mereka menghadapi perintah yang sering tidak masuk akal. Kalau mereka menahan diri, publik menyebutnya pengecut. Kalau mereka melawan, publik menuduhnya bengis. Polisi tersandera dalam jebakan persepsi: selalu salah, apapun yang mereka lakukan.

Ironi “Humanis, tapi Jangan Terlalu Manusia”

Negara kerap menuntut polisi agar “humanis.” Jangan kasar. Jangan represif. Tapi di saat yang sama, polisi dilarang sepenuhnya menggunakan nurani. Bayangkan ironi ini: seorang aparat diminta untuk bersikap manusiawi ketika menghadapi rakyat, tapi tidak boleh terlalu manusia sehingga ia berani menolak perintah yang menindas.

Kita ingat bagaimana Kapolri beberapa kali mengeluarkan instruksi agar polisi “mengutamakan pendekatan persuasif” dalam menangani demonstrasi. Tapi realitas di lapangan menunjukkan hal lain. Pada demonstrasi menolak revisi UU KPK dan RKUHP (2019), misalnya, puluhan mahasiswa terluka, dua di antaranya tewas. Amnesty International Indonesia mencatat ada lebih dari 390 laporan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat dalam periode tersebut. Instruksi “humanis” berakhir jadi jargon kosong.

Polisi sebagai Tumbal Struktural

Masalah terbesar bukan pada individu polisi, melainkan pada struktur yang menjadikan mereka tumbal. Setiap kali ada tragedi—dari penanganan demonstrasi yang berujung ricuh, sampai kasus kekerasan aparat—nama polisi yang disorot. Padahal, keputusan strategis ada di meja para elite yang nyaman di ruang ber-AC, jauh dari gas air mata dan teriakan massa.

Tragedi Kanjuruhan (2022) menjadi contoh paling telanjang. Gas air mata ditembakkan ke arah penonton, menyebabkan kepanikan dan 135 orang meninggal dunia. Dunia menyorot, publik marah, polisi dipersalahkan. Tapi siapa yang menulis naskah kebijakan penggunaan gas air mata itu? Siapa yang mengizinkan stadion dipenuhi melebihi kapasitas? Lagi-lagi, aparat di lapangan dijadikan wajah dari sebuah kegagalan struktural.

Dalam kasus terbaru, kematian Affan Kurniawan—pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025 di Jakarta—menunjukkan hal yang sama. Polisi menjadi aktor tragedi, rakyat kehilangan nyawa, sementara negara sibuk merangkai kalimat basa-basi: “Kami akan evaluasi.” Selalu begitu.

Risiko: Polisi Semakin Jauh dari Rakyat

Konsekuensinya berbahaya. Setiap kali polisi muncul di jalanan dengan tameng dan pentungan, jarak emosional dengan rakyat makin lebar. Rakyat kehilangan rasa percaya, sementara polisi makin merasa terasing. Polisi bukan lagi pelindung, melainkan lawan.

Penelitian Lembaga Survei Indonesia (2023) bahkan mencatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri turun drastis menjadi hanya 54%, pasca serangkaian kasus kekerasan dan korupsi. Angka itu menunjukkan retaknya fondasi legitimasi institusi ini.

Lama-lama, negara sendiri akan kehilangan otoritas moral. Karena apa arti negara jika aparatnya lebih sering dipandang sebagai musuh rakyat ketimbang pelindung mereka? Apa arti hukum jika penegaknya lebih sering dituduh menjadi alat politik ketimbang penjamin keadilan?

Jalan Keluar: Membebaskan Polisi dari Peran Opera

Pertanyaannya, bisakah polisi keluar dari jebakan ini? Jawabannya: hanya jika negara berani mengubah cara pandang. Polisi harus dilihat bukan semata-mata sebagai pion, tapi sebagai institusi yang punya martabat profesional. Mereka harus diberi ruang untuk menolak perintah yang bertentangan dengan hukum dan nurani.

Lebih jauh, reformasi kepolisian tidak bisa hanya berhenti pada jargon “humanis.” Ia harus menembus jantung persoalan: relasi kuasa antara polisi, rakyat, dan elite politik. Selama polisi lebih takut pada atasan daripada pada rakyat, mereka akan terus memilih berdiri di pihak negara, walau nurani mereka terkoyak.

“Masalah bukan hanya pada aparat di lapangan, tapi pada struktur yang menciptakan kekerasan sebagai pilihan utama.”Alm. Munir, pejuang HAM.

Penutup

Polisi di Indonesia hidup dalam tragedi permanen. Mereka diminta menjaga rakyat, tapi juga dipaksa melindungi penguasa. Mereka dipuji sebagai “pelindung,” tapi dihina sebagai “brutal.” Mereka manusia, tapi dilarang sepenuhnya menjadi manusia.

Jika kontradiksi ini tidak dipecahkan, kita akan terus hidup dalam opera negara yang absurd: rakyat yang marah, polisi yang terjebak, dan elite yang tetap berkuasa di balik tirai. Pada akhirnya, pertanyaan paling tajam adalah ini: apakah polisi akan selamanya menjadi aktor yang memainkan naskah orang lain, ataukah mereka akan berani menulis ulang peran mereka sendiri?

error: Content is protected !!