Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Berto. Usianya baru menginjak 12 tahun, namun ia terkenal di kampung sebagai anak yang pemberani dan penuh rasa ingin tahu. Setiap sore, Berto gemar menjelajahi hutan kecil di belakang rumahnya. Ia merasa hutan itu seperti dunia lain yang penuh dengan petualangan.
“Jangan terlalu jauh masuk ke dalam, Berto,” nasihat ibunya suatu sore. “Hutan itu katanya angker. Banyak penghuni tak kasatmata.”
Namun, Berto hanya tersenyum. “Ah, Mama. Itu cuma cerita orang-orang tua.”
Hari itu, Berto membawa bekal kecil—sepotong roti dan sebotol air—dan berencana menjelajahi area yang lebih dalam dari biasanya. Saat matahari mulai tenggelam, ia tiba di sebuah pohon besar yang terlihat berbeda. Pohonnya sangat tua, dengan akar yang menjalar ke segala arah. Anehnya, di bawah pohon itu ada sebuah lubang gelap yang tampak seperti pintu masuk ke dunia lain.
Tiba-tiba, angin dingin berhembus, dan suara perempuan tua yang lirih terdengar. “Berto… masuklah ke sini… kita bermain bersama…”
Meskipun takut, rasa penasaran Berto mengalahkan akal sehatnya. Ia melangkah mendekati lubang itu. Seketika, kegelapan menyelimutinya, dan ia lenyap tanpa jejak.
Malam itu, keluarga Berto panik karena ia tak kunjung pulang. Orang-orang desa berkumpul, menyusuri hutan dengan obor dan senter. Namun, tak ada jejak Berto sama sekali.
Anehnya, tiga hari kemudian, Berto muncul kembali di depan rumahnya. Ia terlihat seperti biasa, hanya saja ada sesuatu yang aneh: ia terus tersenyum tanpa henti. Senyumnya tidak ceria, melainkan kosong, seperti boneka yang kehilangan jiwa.
Orang tuanya mencoba bertanya, tetapi Berto tidak menjawab. Hanya senyum itu yang terus ia tunjukkan. Tubuhnya pun dingin seperti es. “Ini bukan Berto kita,” bisik ayahnya dengan suara gemetar.
Mereka membawa Berto ke pendeta desa, yang dikenal memiliki keahlian mengusir roh jahat. Pendeta itu memeriksa Berto dan segera merasakan aura gelap yang menyelimuti anak itu. “Anak ini telah dibawa ke dunia lain oleh makhluk gaib. Kita harus mendoakannya.”
Pendeta mengajak seluruh keluarga dan warga desa untuk berdoa bersama di gereja. Lilin-lilin dinyalakan, dan doa pengusiran roh dipanjatkan dengan sungguh-sungguh. Berto yang awalnya tenang, tiba-tiba mulai tertawa keras. Tawa itu menggema di dalam gereja, menakutkan semua orang.
Ketika pendeta terus melantunkan doa, Berto mulai menangis. “Ampun… jangan… tolong aku…” suara yang keluar dari mulutnya bukanlah suara Berto, melainkan suara seorang wanita tua.
Dengan doa terakhir, makhluk itu keluar dari tubuh Berto, disertai angin kencang yang memadamkan lilin-lilin. Berto pun jatuh pingsan.
Setelah kejadian itu, Berto pulih sepenuhnya. Ia tak lagi ingat apa yang terjadi di hutan, tapi ia menjadi anak yang lebih penurut. Ia juga tidak pernah lagi masuk ke dalam hutan itu. Dan sejak malam itu, suara perempuan tua tidak pernah terdengar lagi di desa mereka.
Namun, pohon besar itu masih berdiri kokoh, seolah menunggu seseorang yang cukup penasaran untuk mendekat.
Makassar, 23 Januari 2025