Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”
MATIUS 9:10-11
Matahari hampir tenggelam ketika sebuah restoran mewah di pusat kota mulai dipenuhi pelanggan. Lampu-lampu gantung bersinar lembut, menciptakan suasana elegan yang kontras dengan hiruk-pikuk kendaraan di luar. Di salah satu meja VIP, seorang pria berkemeja putih sederhana duduk dikelilingi beberapa orang. Ia adalah Yesus.
Di hadapannya, duduklah seorang pria berkemeja batik mahal dengan logo instansi di dada kirinya. Namanya Pak Samuel, Kepala Kantor Dispenda. Di sampingnya, beberapa bawahannya yang juga berpakaian necis ikut serta dalam jamuan itu. Seorang pelayan baru saja menghidangkan steak wagyu, sup krim, dan segelas anggur impor.
Tak jauh dari meja itu, sekelompok wartawan dan aktivis LSM memperhatikan dengan wajah penuh kecurigaan. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik.
Aktivis 1: “Astaga! Itu Yesus, kan? Kenapa Dia makan dengan orang seperti Pak Samuel? Bukannya dia terkenal suka ngemplang pajak?”
Aktivis 2: “Iya, dan lihat itu! Mereka makan makanan mahal! Ini pasti uang rakyat yang mereka hamburkan!”
Mereka pun mulai mengambil foto secara diam-diam.
Percakapan Meja Makan
Sementara itu, di meja utama, Pak Samuel dengan santai memotong steak-nya dan menatap Yesus dengan senyum miring.
Pak Samuel: “Jujur, saya tidak menyangka bisa makan semeja dengan Anda, Yesus. Biasanya saya hanya dengar nama Anda di khotbah gereja, waktu istri saya paksa saya ikut ibadah Natal di kantor.”
Yesus tersenyum. “Aku memang suka makan bersama siapa saja, Pak Samuel. Orang-orang sering berpikir Aku hanya datang untuk orang suci, tapi sebenarnya Aku lebih tertarik pada orang-orang seperti Anda.”
Pak Samuel: “Hahaha! Kalau begitu, Anda datang ke orang yang tepat! Saya ini sering dibilang perampok pajak rakyat! Sering masuk berita miring, dituduh korupsi, dimaki-maki netizen… Padahal, saya cuma menjalankan sistem, Yesus. Pajak itu penting, negara butuh uang!”
Yesus mengangguk. “Aku tahu. Pajak memang perlu. Bukankah sudah ada tulisan: ‘Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah’?”
Pak Samuel: “Nah! Akhirnya ada yang paham! Tapi, kenapa masyarakat selalu curiga dengan kami? Mereka kira saya dan tim saya ini makhluk rakus yang tidak pernah puas. Padahal, kami hanya memungut apa yang sudah menjadi kewajiban mereka!”
Yesus mengambil sepotong roti dan membaginya. “Mungkin karena mereka merasa tak ada keadilan. Yang kecil diperas, yang besar bebas.”
Pak Samuel berhenti mengunyah. Sejenak, ekspresinya berubah serius.
Pak Samuel: “Ah, Anda mulai berkhotbah, Yesus?”
Yesus: “Aku hanya menyatakan kebenaran. Katakanlah, berapa banyak orang miskin yang mendapat keringanan pajak, dibandingkan dengan pengusaha besar yang mendapat fasilitas dan pemutihan utang pajak?”
“berapa banyak orang miskin yang mendapat keringanan pajak, dibandingkan dengan pengusaha besar yang mendapat fasilitas dan pemutihan utang pajak?”
Pak Samuel tertawa kecil, tapi ada sedikit kegelisahan di matanya.
Pak Samuel: “Yesus, Anda ini seperti wartawan senior. Pertanyaan Anda tajam sekali. Tapi, begini ya, aturan itu… kompleks. Kami tidak bisa semena-mena. Pajak itu urusan negara. Kalau saya terlalu keras ke pengusaha, nanti investasi lari. Kalau saya terlalu lunak, rakyat marah. Saya di posisi sulit, Yesus.”
Yesus menatapnya lekat. “Dan ketika kau berada di posisi sulit, keputusan apa yang kau ambil, Samuel? Membela yang kuat atau menolong yang lemah?”
Pak Samuel mendesah. “Tentu saja saya ingin adil… tapi dunia tidak berjalan seperti itu.”
Yesus menyesap anggurnya. “Dunia memang tidak adil, tapi kau bisa memilih untuk menjadi bagian dari ketidakadilan atau bagian dari perubahan.”
Pak Samuel tersenyum miris. “Maksud Anda, saya harus jadi pahlawan? Memberantas korupsi? Melawan sistem?”
Yesus: “Tidak, Samuel. Aku hanya ingin kau jujur pada hatimu. Kau tahu mana yang benar, tapi kau menutupinya dengan alasan-alasan birokrasi.”
Pak Samuel terdiam. Ia menatap makanannya, tetapi kehilangan selera.
Reaksi Para Aktivis
Di sudut ruangan, para aktivis semakin gusar.
Aktivis 3: “Gila, Yesus malah akrab sama dia! Harusnya Yesus marah-marah, bukannya malah ngobrol santai!”
Aktivis 1: “Iya! Ini bisa jadi berita besar. ‘Yesus Dukung Kepala Dispenda yang Diduga Korup!’ Bagaimana?“
Aktivis 2: “Jangan bodoh! Kita dengarkan dulu… mungkin ada sesuatu di balik ini.”
Kesimpulan yang Tak Terduga
Setelah lama berbincang, Pak Samuel akhirnya bersandar di kursinya. Ia menatap Yesus dan berkata pelan, “Kalau saya benar-benar ingin berubah, apakah ada harapan bagi saya?”
Yesus tersenyum. “Samuel, Aku duduk di sini bersamamu bukan untuk menghukummu, tetapi untuk menuntunmu. Yang Aku inginkan hanya satu: kejujuran dan pertobatan. Mulailah dari hal kecil. Jangan tutup mata terhadap ketidakadilan. Jangan berlindung di balik sistem yang korup. Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang, tapi kau bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari mereka yang menindas.”
Pak Samuel terdiam lama. Lalu, ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Pak Samuel: “Halo? Tolong periksa lagi data pemutihan pajak tahun ini. Pastikan yang mendapat keringanan benar-benar orang yang berhak.”
Yesus tersenyum puas.
Para aktivis yang tadinya curiga, kini mulai melihat percakapan itu dengan perspektif berbeda.
Malam itu, di sebuah restoran mahal, bukan hanya makanan yang dihidangkan, tetapi juga perenungan. Seorang Kepala Kantor Dispenda yang terbiasa hidup di dunia abu-abu mulai melihat warna yang lebih terang.
Dan di sudut ruangan, para wartawan dan aktivis yang semula sarkastik, akhirnya menyadari bahwa perubahan tidak selalu datang dalam bentuk revolusi besar—kadang, ia dimulai dengan satu percakapan di meja makan.