Bioekonomi dan Mata Pencaharian di Kawasan Konservasi Laut Banda: Integrasi Sumber Daya Alam, Kesejahteraan Masyarakat, dan Tata Kelola

Share:

Kawasan Konservasi Laut (KKL) Banda menawarkan lanskap sumber daya alam yang sangat beragam namun rentan, yang secara langsung mendukung mata pencaharian puluhan ribu penduduk lokal. Ekosistem laut di kawasan ini merupakan salah satu yang paling produktif di Indonesia, bahkan dunia. Survei biologis mencatat adanya 397 spesies karang dan 683 spesies ikan di Kepulauan Banda. Keberadaan terumbu karang yang masih memiliki tutupan hidup baik, dengan catatan tertinggi hingga 88,97% di Pulau Nailaka, menjadi fondasi bagi kehidupan laut yang melimpah. Wilayah perairan ini juga merupakan rumah bagi sejumlah spesies ikan target utama seperti tuna sirip kuning (Thunnus albacares), kakap, kerapu, baronang, dan lumpineer atau ikan lompa (Trissina baelama). Potensi stok ikan pelagis kecil diperkirakan sebesar 1.485,9 ton/tahun, meskipun batas tangkapan yang ditetapkan jauh lebih rendah di 594,3 ton/tahun untuk menjaga kelangsungan sumber daya. Selain itu, Laut Banda adalah habitat penting bagi mamalia laut terancam punah seperti paus biru, paus paruh Cuvier, lumba-lumba spinner, dan dugong.

Namun, potensi ekonomi yang besar ini diserang oleh serangkaian ancaman akibat pengelolaan sumber daya yang tidak berkelanjutan. Overfishing telah menjadi masalah krusial, didorong oleh aktivitas penangkapan ikan ilegal menggunakan pukat hela (purse seine) dan FAD ilegal yang merusak lingkungan. Ancaman lain termasuk penggunaan alat tangkap merusak, pencemaran dari limbah domestik maupun pariwisata, dan perubahan iklim yang menyebabkan kematian massal mamalia laut. Degradasi ekosistem juga tercermin dari penurunan luas hutan mangrove, yang berkurang dari 198.000 hektar pada tahun 1980 menjadi hanya 100.000 hektar pada tahun 2005. Perubahan iklim memengaruhi pola monsun dan menyebabkan kematian mamalia laut, menambah beban tekanan terhadap sumber daya. Aktivitas pariwisata, meskipun memiliki nilai ekonomi tinggi, turut berkontribusi pada peningkatan sampah plastik dan kerusakan terumbu karang akibat jangkar kapal.

Dalam konteks inilah, pengelolaan berbasis konservasi menjadi sangat penting. Jaringan KKL Banda, yang mencakup Taman Wisata Perairan Laut Banda (seluas 2.501,98 ha), Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Lease (67.484,19 ha), serta KKL Pulau Ay dan Rhun (61.178,53 ha), dirancang untuk melindungi keanekaragaman hayati dan meningkatkan ketahanan sosial-ekonomi masyarakat. Implementasi kawasan ini melibatkan zonasi yang ketat, misalnya di Kepulauan Lease yang terdiri atas zona inti, pemanfaatan terbatas, dan zona lainnya, serta rencana SMART 2025–2026 yang mencakup lebih dari 30 langkah aksi untuk memperkuat co-management. Studi-studi lapangan menunjukkan bahwa upaya konservasi memberikan dampak positif nyata. Masyarakat di sekitar KKL Banda melaporkan melihat pemulihan terumbu karang pasca-penggunaan bom ikan dan melimpahnya spesies target seperti kerapu dan kakap. Di Kepulauan Lease, pemantauan rutin menunjukkan tingkat kepatuhan 100% tanpa ditemukan pelanggaran, sebuah indikator awal keberhasilan pengelolaan bersama. Namun, studi indeks keberlanjutan terhadap dua pulau di Banda menunjukkan status “Kurang Berkelanjutan”, dengan dimensi ekonomi sebagai yang paling lemah, menandakan bahwa tantangan dalam mengubah praktik tradisional menuju model ekonomi berkelanjutan masih sangat besar.

ParameterData Spesifik
Spesies Karang397 spesies
Spesies Ikan683 spesies
Stok Ikan TargetBiomassa 599,6 ton/km²; Stok total
4.214.468 ton
Potensi Pariwisata Hiu/PariUSD 669.795,59 (median) pengeluaran wisatawan per tahun
Luas KKL BandaTotal ± 128.662,66 ha (termasuk TWP
Laut Banda)
Total Populasi Bergantung18.544 orang di 12 desa
Komoditas Utama PerikananTuna sirip kuning, cakalang, kerapu,
kakap, ikan lompa

Penguatan Ekonomi Melalui Perikanan Berkelanjutan dan Sertifikasi Internasional

Salah satu mekanisme paling signifikan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat nelayan di Kepulauan Banda adalah melalui integrasi pasar global melalui standar internasional, khususnya melalui sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC). Inisiatif perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Project/FIP) di Laut Banda, yang diprakarsai oleh Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) dengan dukungan LINI Foundation, berhasil membawa perikanan tuna sirip kuning metode handline menuju sertifikasi MSC pada awal 2021. Proses panjang selama tujuh tahun melibatkan peningkatan sistem manajemen perikanan, termasuk registrasi kapal, pelacakan tangkapan, pengumpulan data ilmiah, dan pelatihan keselamatan di laut. Hasilnya adalah akses yang diperluas ke pasar ekspor bernilai tinggi di Amerika Serikat dan Eropa. Sertifikasi MSC diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dengan memastikan praktik penangkapan yang lestari dan dapat dilacak, serta memperkuat pasar produk perikanan ramah lingkungan.

Dampak ekonomi langsung dari sertifikasi MSC telah terlihat. Meskipun angka pasti untuk Banda belum tersedia di semua sumber, studi di lokasi perikanan serupa memberikan gambaran yang jelas. Sebuah analisis menunjukkan bahwa investasi di rantai pasok seperti cold storage dan fasilitas pengolahan dapat meningkatkan pendapatan nelayan sebesar 23 hingga 47 persen. Secara khusus untuk perikanan tuna Banda, estimasi pendapatan nelayan pasca-sertifikasi MSC adalah sebesar Rp 6.268.915 per bulan . Angka ini kemungkinan besar akan tumbuh seiring meningkatnya permintaan dan harga untuk produk bersertifikat. Lebih lanjut, manfaat maksimal dicapai ketika perbaikan manajemen perikanan dilakukan bersamaan dengan investasi rantai pasok, karena hal ini meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari hasil tangkapan. Perikanan tuna sirip kuning di Laut Banda, yang menggunakan handline tradisional tanpa alat bantu FAD, menghasilkan volume tangkapan tahunan sebesar 118 ton dengan 906 kapal yang terlibat, menyediakan lapangan kerja penting bagi masyarakat lokal.

Meskipun demikian, ada beberapa tantangan dan pertimbangan penting. Pertama, sertifikasi MSC tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah overfishing di kawasan tersebut. Peraturan daerah RTRW Maluku Tengah 2012-2032 dan Keputusan Menteri KP No. 37/2022 yang mengatur konservasi kawasan laut sering kali memiliki penegakan yang lemah [[10,29]]. Hal ini berarti bahwa meskipun sebagian perikanan telah bersertifikat, ancaman dari penangkapan ikan ilegal di luar skema tetap ada, yang dapat merugikan stok ikan secara keseluruhan. Kedua, meskipun sertifikasi meningkatkan nilai ekonomi, tidak semua nelayan mungkin terlibat atau mendapat manfaat sepenuhnya. Nelayan-nelayan di tempat lain di Indonesia sering kali bergantung pada tuna, dengan rata-rata 88% pendapatan rumah tangga berasal dari komoditas ini. Oleh karena itu, diversifikasi mata pencaharian tetap merupakan prioritas strategis untuk meningkatkan ketahanan ekonomi mereka.

Selain perikanan bersertifikat, potensi ekonomi laut lainnya sedang dikembangkan. Pariwisata ekowisata, khususnya pengamatan hiu paus, memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Perkiraan nilai pariwisata cetacea di Laut Banda pada tahun 2025 diperkirakan mencapai USD 48.988.800 . Meskipun jumlah wisatawan saat ini relatif rendah dibandingkan dengan destinasi populer lainnya, potensi ini sangat besar dan dapat menjadi sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat. Pengembangan infrastruktur pariwisata, seperti dermaga dan transportasi, serta peningkatan promosi, akan menjadi kunci untuk mengeksploitasi potensi ini. Pendapatan dari sektor pariwisata, seperti retribusi kapal pesiar dan aktivitas menyelam, sebagian sudah dialokasikan kembali untuk pengelolaan konservasi, seperti patroli dan pengelolaan sampah, menciptakan siklus positif antara pariwisata dan perlindungan lingkungan. Upaya-upaya ini semakin didukung oleh platform teknologi baru, seperti aplikasi Ocean Eye yang melibatkan wisatawan dalam pelaporan satwa laut, yang pertama kali diluncurkan di Banda Neira.

Peran Sosial-Budaya dan Empowerment Gender dalam Pengembangan Bioekonomi

Pengembangan bioekonomi di Kepulauan Banda tidak bisa dilepaskan dari warisan sosial-budaya masyarakat setempat, terutama sistem pengelolaan sumber daya laut tradisional yang dikenal sebagai “sasi”. Sasi adalah praktik larangan temporal terhadap pemanfaatan sumber daya tertentu di wilayah laut adat, dipimpin oleh pemimpin adat seperti kewang, saniri, atau tuanku. Praktik ini digunakan untuk melindungi spesies lambat berkembang seperti lobster, teripang, dan siput lola (Trochus niloticus) selama periode regenerasi, biasanya berlangsung selama beberapa tahun. Di Pulau Hatta, misalnya, sasi masih diterapkan secara aktif untuk mengatur panen trobos dan teripang, dengan periode tutup selama dua tahun. Pelanggaran terhadap aturan sasi biasanya dikenai sanksi adat berupa pembayaran lela, yang bisa bernilai ratusan juta rupiah.

Sistem sasi tidak hanya merupakan alat konservasi, tetapi juga merupakan bagian integral dari identitas budaya dan struktur sosial masyarakat adat di Maluku dan Papua. Upacara ritual adat sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari pembukaan dan penutupan masa sasi, melibatkan simbol-simbol spiritual seperti janur kuning dari daun kelapa. Namun, praktik-praktik ini telah melemah sejak era Orde Baru akibat kebijakan otonomi daerah yang melemahkan lembaga adat dan dominasi ekonomi pasar. Revitalisasi sasi menjadi fokus utama bagi banyak organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga donor. Coral Triangle Center (CTC) telah berperan penting dalam mengintegrasikan sasi modern ke dalam peraturan desa administratif, seperti di Pulau Ay, sehingga aturan sasi menjadi legal dan memiliki kekuatan hukum formal. Proyek-proyek seperti GEF-6 CFI Indonesia juga mendukung revitalisasi sasi dengan inovasi seperti “Sasi Label” untuk menambah nilai ekonomi produk-produk perikanan berkelanjutan.

Di tengah dinamika ini, peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya laut dan pengembangan ekonomi lokal semakin mendapatkan perhatian. Perempuan sering kali menjadi garda depan dalam gerakan konservasi dan pelestarian lingkungan. Di Kepulauan Banda, kelompok perempuan seperti Waifuna di Raja Ampat telah diberikan hak untuk mengelola kawasan sasi sejak 2012, menunjukkan kemajuan menuju inklusi gender. Di Banda, proyek upcycling oleh BandaSEA eV melibatkan ibu-ibu rumah tangga dalam mengolah limbah plastik menjadi barang bernilai jual. Kelompok Kreatif Anak Banda (KKAB) juga melibatkan perempuan dalam membuat kerajinan dari limbah plastik yang dijual. Bahkan di sektor perikanan, perempuan mulai memainkan peran yang lebih besar, meskipun biasanya terbatas pada sektor pengolahan yang bernilai rendah. UNCTAD mencatat bahwa sekitar 40% startup di sektor rumput laut dipimpin oleh perempuan, yang melihat sektor ini sebagai cara untuk mendiversifikasi pendapatan keluarga. Program-program pelatihan dan pemberdayaan, seperti yang didukung oleh IPNLF di Zambia, menunjukkan dampak positif dari mendukung perempuan dalam keterampilan hidup dan bisnis, meskipun tantangan struktural seperti akses pendidikan dan pernikahan dini masih harus diatasi.

Peran perempuan dalam pengelolaan konservasi juga tidak terbatas pada kegiatan lokal. Mereka sering kali menjadi tokoh inspiratif dalam advokasi lingkungan. Mama Sherly, Ketua Kelompok Zakan Day di Desa Salafen, menekankan pentingnya peran perempuan dalam pelestarian alam melalui sasi. Dinah Yunitawati dan Sri Rahayu Mansur dari Women Leaders Forum menjadi contoh perempuan pemimpin dalam pemberdayaan komunitas di KKL Banda. Meskipun demikian, penting untuk diakui bahwa representasi perempuan menurun drastis di level pengambilan keputusan dan riset ilmiah. Untuk benar-benar mendorong pengembangan bioekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, diperlukan upaya sistematis untuk memberdayakan perempuan, tidak hanya sebagai pelaku tetapi juga sebagai pengambil keputusan utama dalam pengelolaan sumber daya laut.

Tata Kelola dan Ko-Manajemen Sebagai Landasan Bioekonomi

Tata kelola yang efektif dan berkelanjutan adalah fondasi yang mutlak diperlukan untuk mentransformasikan potensi bioekonomi di Kepulauan Banda menjadi realita nyata. Pendekatan ko-manajemen (co-management) yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta secara erat menjadi titik fokus utama dalam berbagai inisiatif pengelolaan sumber daya laut di kawasan ini. Paradigma ini merefleksikan pemahaman bahwa keberhasilan konservasi dan pengembangan ekonomi tidak dapat dicapai melalui pendekatan top-down semata, melainkan membutuhkan kepemilikan lokal (local ownership) dan partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan. Kerangka hukum yang kuat menjadi landasan bagi skema co-management ini, seperti yang tercermin dalam rencana SMART 2025–2026 untuk TWP Laut Banda, yang mencakup lebih dari 30 langkah aksi untuk memperkuat kolaborasi.

Lembaga non-formal dan NGO berperan sebagai agen utama dalam memfasilitasi dan membangun kapasitas untuk tata kelola yang lebih baik. Coral Triangle Center (CTC) adalah contoh utama, yang telah mendukung pengembangan Jaringan KKL Banda sejak 2009, melakukan pemantauan ekologis dan sosial-ekonomi, serta membantu pengembangan rencana pengelolaan. Salah satu kontribusi paling signifikan CTC adalah membantu memformalkan sistem sasi di Pulau Ay, di mana aturan adat tersebut diintegrasikan ke dalam Peraturan Negeri Admistratif Nomor 1 Tahun 2014, memberi kekuatan hukum formal pada praktik pengelolaan tradisional. CTC juga berperan dalam membentuk dan melatih kelompok-kelompok masyarakat, seperti Pokmaswas (Pokok Masalah Pantai) dan Molucca Coastal Care (MCC), untuk melakukan pemantauan sumber daya dan penegakan aturan di lapangan. Dengan dukungan PT Hatfield Indonesia, CTC sekarang sedang mengembangkan proyek baru yang secara khusus menargetkan peningkatan mata pencaharian masyarakat melalui “blue jobs” dan penguatan UMKM di desa-desa pesisir.

Proses ko-manajemen ini bukan tanpa tantangan. Salah satu isu utama adalah kesenjangan dalam kesetaraan gender, di mana peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya sering kali tidak diakui sepenuhnya. Meskipun ada upaya untuk melibatkan perempuan, seperti melalui kelompok Waifuna di Raja Ampat atau proyek upcycling di Banda, struktur kekuasaan tradisional sering kali masih didominasi oleh laki-laki. Rekomendasi dari studi tentang tenure maritim di Maluku dan Papua menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak dan pengetahuan masyarakat adat dalam tata kelola maritim inklusif. Selain itu, adanya perbedaan kepentingan antar-pemangku kepentingan, seperti konflik politik internal yang dapat melemahkan fungsi lembaga adat seperti kewang, menjadi hambatan lain. Penegakan hukum yang lemah terhadap regulasi formal, seperti Keputusan Menteri KP No. 37/2022, juga melemahkan upaya ko-manajemen, karena praktik ilegal oleh pihak luar tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, pendekatan hybrid yang menggabungkan pengetahuan ilmiah modern dengan pengetahuan ekologis tradisional (TEK) menjadi sangat relevan. Studi menunjukkan bahwa ketergantungan ekosistem dan kelayakan komunitas saling bergantung, sehingga keberlanjutan budaya dan partisipasi masyarakat adalah kunci bagi kesehatan ekosistem. Simposium tentang praktik sasi dan tenure laut yang diselenggarakan oleh CTC dan BRIN pada Februari 2025 bertujuan untuk memperkuat dialog antara ilmuwan, pemimpin adat, dan pemerintah daerah, serta meningkatkan inklusi gender dalam pengelolaan sumber daya. Dengan demikian, tata kelola yang sukses di Kepulauan Banda akan bergantung pada kemampuan untuk membangun sinergi yang kuat antara lembaga formal dan informal, memastikan bahwa kebijakan nasional didukung oleh praktik lokal yang inklusif dan berkelanjutan.

Diversifikasi Mata Pencaharian Menuju Ketahanan Ekonomi Berkelanjutan

Meskipun perikanan berkelanjutan dan pariwisata ekowisata menawarkan peluang ekonomi besar, ketergantungan berlebihan pada satu sektor saja, seperti yang dialami masyarakat Banda, sangat rentan terhadap fluktuasi pasar, perubahan iklim, dan overfishing. Data menunjukkan bahwa sebanyak 85% populasi di Kepulauan Banda bergantung pada sektor perikanan dan perkebunan. Di kalangan nelayan tuna, ketergantungan ini bahkan lebih ekstrem, dengan rata-rata 88% pendapatan rumah tangga berasal dari tuna. Oleh karena itu, strategi pengembangan bioekonomi di Kepulauan Banda haruslah berfokus pada diversifikasi mata pencaharian untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang lebih tangguh bagi masyarakat.

Beberapa inisiatif konkret telah diluncurkan untuk mendiversifikasi perekonomian pesisir. Salah satu sektor yang menjanjikan adalah usaha berbasis pengolahan dan daur ulang sumber daya laut. BandaSEA eV, misalnya, mendukung program upcycling di mana ibu-ibu rumah tangga di Bandaneira mengolah limbah plastik menjadi kerajinan seni yang dijual. Di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Pulau Apung pertama di Indonesia, Bank Sampah melibatkan 72 keluarga dalam pengumpulan sampah plastik, yang kemudian diolah menjadi pelet dan minyak bakar untuk dijual ke perusahaan di Surabaya. Ini adalah contoh nyata bagaimana masalah lingkungan (sampah plastik) diubah menjadi sumber pendapatan alternatif. Sektor rumput laut juga memiliki potensi besar, terutama bagi perempuan. UNCTAD mencatat bahwa rumput laut adalah komoditas berkelanjutan yang tumbuh tanpa air tawar atau pupuk, dan sekitar 40% startup di sektor ini dipimpin oleh perempuan. Sea6 Energy, sebuah perusahaan India, telah meluncurkan peternakan rumput laut di Indonesia untuk meningkatkan sumber protein dan pangan keluarga.

Selain itu, inovasi dalam perikanan sendiri juga menjadi bagian dari diversifikasi. Selain fokus pada tuna bersertifikat, terdapat dorongan untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan asin “cakalang banda” dan peningkatan nilai tambah melalui pelatihan teknologi ramah lingkungan dan pengembangan produk olahan seperti abon tuna dan kaleng tuna. Dukungan dari EcoNusa melalui pusat penelitian dan pendidikan mereka di Banda Neira juga berperan dalam pengembangan kewirausahaan biru, termasuk meluncurkan proyek Keramba Jaring Apung (KJA) sederhana sebagai platform pembelajaran dan pemanfaatan sumber daya laut.

Pariwisata bahari tetap menjadi sektor kunci dalam diversifikasi. Potensi wisata budaya, dengan situs bersejarah seperti benteng Belanda dan festival adat seperti tarian Cakalele, ditambah dengan wisata sejarah, merupakan daya tarik unik. Meskipun belum dikelola secara optimal saat ini, pengembangan infrastruktur pariwisata dan promosi yang tepat dapat membawa manfaat ekonomi yang signifikan. Strategi pengembangan pariwisata berbasis ekosistem, seperti yang direkomendasikan oleh ECOS (Ecotourism Opportunity Spectrum), dapat membantu memetakan potensi dan memilih jenis kegiatan wisata yang sesuai dengan kondisi lokal tanpa merusak ekosistem. Kolaborasi multipihak antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk merancang dan menerapkan rencana strategis yang komprehensif untuk diversifikasi mata pencaharian, termasuk perencanaan forum kerja bersama, regulasi tata guna lahan, dan pemetaan lokasi penangkapan ikan. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, Kepulauan Banda dapat membangun perekonomian pesisir yang lebih beragam, tangguh, dan berkelanjutan.

Tinjauan Keseluruhan dan Rekomendasi Strategis untuk Kesejahteraan Berkelanjutan

Analisis menyeluruh terhadap bioekonomi dan mata pencaharian di Kepulauan Banda menunjukkan bahwa kawasan ini berada pada titik penting di mana peluang besar untuk pengembangan ekonomi berbasis sumber daya alam sejalan dengan tantangan yang signifikan terhadap keberlanjutan sosial-ekologis. Kekayaan biodiversitas laut yang luar biasa, didukung oleh praktik pengelolaan tradisional seperti sasi, merupakan modal sosial dan ekonomi yang kuat. Upaya-upaya yang dipimpin oleh NGO, pemerintah, dan masyarakat telah menunjukkan hasil nyata, seperti peningkatan pendapatan nelayan melalui sertifikasi MSC, pemulihan ekosistem terumbu karang, dan meningkatnya kesadaran konservasi di tingkat lokal. Namun, tantangan utama tetap ada: ketergantungan ekonomi yang tinggi, ancaman overfishing dari penangkapan ilegal, lemahnya penegakan hukum, dan perlunya diversifikasi mata pencaharian untuk mencapai ketahanan jangka panjang.

Berikut adalah tinjauan keseluruhan berdasarkan empat aspek utama yang ditanyakan:

Peta Sumber Daya dan Dampak Pengelolaan: Kepulauan Banda memiliki basis sumber daya laut yang sangat produktif, namun rawan terhadap kerusakan akibat praktek penangkapan ikan ilegal, pencemaran, dan perubahan iklim. Pengelolaan berbasis konservasi melalui KKL telah menunjukkan dampak positif awal, namun tantangan utama adalah pergeseran mentalitas dan perilaku dari masyarakat yang sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya.

Penguatan Ekonomi Perikanan: Sertifikasi MSC merupakan instrumen paling efektif saat ini untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil perikanan. Manfaatnya terlihat dari peningkatan pendapatan nelayan dan akses pasar global. Namun, dampaknya terbatas pada perikanan bersertifikat, dan perlu didukung oleh penegakan hukum yang lebih ketat terhadap penangkapan ilegal agar tidak merusak stok ikan secara keseluruhan.

Peran Sosial-Budaya dan Gender: Warisan sosial-budaya, terutama sistem sasi, adalah pondasi penting untuk pengelolaan berkelanjutan. Revitalisasi sasi menjadi fokus utama, dengan peran kunci CTC dalam memformalkannya. Pemberdayaan perempuan sebagai agen perubahan dalam konservasi dan pengembangan usaha baru adalah aspek kritis yang perlu diperkuat untuk mencapai inklusivitas dan keberlanjutan.

Tata Kelola dan Ko-Manajemen: Suksesnya pengembangan bioekonomi sangat bergantung pada sistem tata kelola yang kuat dan inklusif. Ko-manajemen yang melibatkan semua pemangku kepentingan adalah jalur yang tepat. Namun, tantangan seperti kesenjangan gender, konflik internal, dan lemahnya penegakan hukum harus ditangani secara sistematis.

Berdasarkan analisis ini, kami menyampaikan rekomendasi strategis berikut untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan berkelanjutan di Kepulauan Banda:

  1. Memperkuat Penegakan Hukum dan Regulasi: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah daerah harus meningkatkan kapasitas penegak hukum untuk menindak tegas penangkapan ikan ilegal dan penggunaan alat tangkap merusak. Integrasi data dari FIP dan program observasi nasional dapat digunakan untuk memperkuat basis hukum dalam penegakan.
  2. Mendorong Diversifikasi Mata Pencaharian Skala Kecil: Pemerintah dan mitra pengembangan harus memberikan insentif dan dukungan teknis untuk pengembangan usaha-usaha alternatif. Prioritas termasuk pengembangan industri daur ulang plastik, pengembangan pasar untuk produk olahan ikan lokal, dan pendampingan bagi perempuan dalam budidaya rumput laut dan kerajinan.
  3. Meningkatkan Investasi dalam Kapasitas Lokal: Fokus utama harus diberikan pada pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan untuk masyarakat, terutama perempuan dan pemuda. Pelatihan harus mencakup manajemen bisnis, pelacakan dan jejak digital (traceability), pengelolaan pariwisata berkelanjutan, dan penggunaan teknologi baru seperti aplikasi pengumpulan data satwa liar.
  4. Mengintegrasikan Pengetahuan Tradisional dalam Kebijakan Formal: Proses revivesi dan formalisasi sasi harus didorong lebih jauh, dengan pengakuan resmi terhadap hak-hak masyarakat adat dan lembaga adat dalam pengelolaan wilayah laut. Dialog lintas generasi dan antar-pemangku kepentingan harus diprioritaskan untuk melestarikan pengetahuan lokal.
  5. Membangun Sinergi dan Kolaborasi Multi-Pihak: Pembentukan forum koordinasi yang permanen dan inklusif yang melibatkan pemerintah, masyarakat adat, NGO, sektor swasta, dan akademisi sangat penting. Forum ini akan menjadi ruang untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi rencana pengelolaan bersama yang komprehensif.

Dengan menjalankan strategi-strategi ini secara terpadu, Kepulauan Banda tidak hanya akan mempertahankan kekayaan alamnya, tetapi juga akan menciptakan masa depan yang layak dan sejahtera bagi generasi mendatang.

error: Content is protected !!