FotoYu di JMP: Antara Hobi Memotret dan Hak Privasi

Share:

Akhir-akhir ini, ruang-ruang publik di berbagai kota Indonesia semakin ramai oleh para fotografer jalanan. Di jembatan, taman kota, area car free day, hingga jalur lari, muncul sosok-sosok dengan kamera profesional yang siap membidik setiap momen. Fenomena ini tidak lagi sekadar hobi. Ia telah menjelma menjadi sebuah ekosistem baru: fotografi berbasis platform digital, salah satunya dikenal dengan nama FotoYu. Setiap foto yang diambil ini, yang memuat wajah Anda saat sedang berkeringat santai, kemudian dijual secara komersial dengan harga Rp20.000 per lembar.

FotoYu—sebuah platform marketplace foto—mengklaim diri sebagai wadah bagi para fotografer untuk mengabadikan momen masyarakat di ruang publik, terutama mereka yang sedang berolahraga, kemudian menjual hasil jepretannya kepada siapa pun yang tertarik. Dalam praktiknya, seseorang bisa saja menemukan potret dirinya sedang berlari di jembatan, tersenyum di taman, atau berswafoto tanpa sadar bahwa gambar itu telah menjadi bagian dari katalog daring.

Di Ambon, misalnya, Jembatan Merah Putih (JMP) kini bukan hanya ikon kota, tetapi juga arena sosial baru. Setiap akhir pekan, warga datang untuk berolahraga atau menikmati panorama teluk. Di sela-sela keramaian itu, tampak pula fotografer yang mengambil gambar para pelari atau pengunjung. Mereka mungkin bukan bagian dari media resmi, melainkan individu yang mengunggah hasil fotonya ke platform seperti FotoYu.

FotoYu adalah komunitas fotografi lokal yang aktif memburu momen-momen candid di ruang publik. Mereka dikenal dengan gaya street photography yang spontan, dramatis, dan kadang menyentuh sisi emosional kehidupan kota. JMP menjadi spot favorit karena latar alam yang memukau dan keragaman aktivitas warga.

Fakta ini terlihat sederhana dan bahkan mengasyikkan. Namun di balik lensa kamera, muncul pertanyaan yang jauh lebih serius: siapa yang berhak atas foto seseorang yang diambil di ruang publik?

Fenomena FotoYu di JMP Ambon adalah lonceng peringatan keras bagi privasi digital di Indonesia. Model bisnis yang secara sistematis memanen data wajah individu di ruang publik untuk keuntungan komersial—tanpa persetujuan awal yang jelas—sedang berada di jalur tabrakan langsung dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Siapa FotoYu?

FotoYu adalah platform digital yang menjadi marketplace bagi hasil foto kegiatan publik, terutama olahraga. Didirikan dengan semangat mendukung komunitas fotografer independen, FotoYu beroperasi dengan konsep sederhana: fotografer memotret aktivitas masyarakat di ruang publik (seperti lomba lari, senam, atau CFD), lalu mengunggah hasilnya ke situs atau aplikasi FotoYu.

Pengguna yang merasa difoto dapat mencari fotonya di sana—biasanya menggunakan pengenalan wajah (face recognition) atau pencarian berdasarkan lokasi dan waktu kegiatan—dan kemudian membeli foto digital tersebut.

Konsepnya mirip seperti layanan foto acara olahraga di luar negeri, misalnya Marathon Photos atau Pix4U. Namun bedanya, di Indonesia konteks sosial dan hukumnya masih berkembang. Banyak warga yang tidak tahu bahwa wajah mereka bisa muncul di platform semacam ini, apalagi jika digunakan untuk tujuan komersial.

Inilah yang kemudian memunculkan kontroversi: apakah pengambilan dan penjualan foto orang di ruang publik tanpa izin melanggar hak atas citra diri dan data pribadi?

Ancaman di Balik Jepretan Kamera

Untuk memahami mengapa fenomena ini sangat bermasalah secara hukum, kita harus menengok status hukum wajah Anda.

Di bawah UU PDP, citra wajah yang diproses untuk identifikasi atau pencocokan—seperti yang dilakukan oleh teknologi pengenalan wajah milik FotoYu—tidak lagi dianggap sekadar foto. Wajah Anda berubah status menjadi Data Pribadi Spesifik.

Status “Spesifik” ini menempatkan data biometrik Anda pada tingkat perlindungan tertinggi. Sama seperti sidik jari atau data kesehatan, pemrosesan data wajah memerlukan standar izin yang sangat tinggi, yaitu persetujuan yang eksplisit, spesifik, dan diberikan secara sadar.

Perangkap Implied Consent (Persetujuan Tersirat) di Ruang Publik

Inti dari konflik ini adalah asumsi bahwa berada di ruang publik berarti Anda telah memberikan izin. Namun, Kemkominfo telah menegaskan bahwa kegiatan pengambilan foto di ruang publik tetap wajib patuh pada UU PDP.

FotoYu dan mitra fotografernya mengumpulkan data wajah—Data Pribadi Spesifik—dengan tujuan komersial yang jelas sejak awal. UU PDP secara tegas melarang setiap orang untuk secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

Warga Ambon yang sedang berolahraga tidak mungkin menerima dan memahami informasi lengkap mengenai tujuan komersial penjualan foto mereka, jangka waktu penyimpanan data biometrik, dan risiko lainnya sebelum foto mereka diambil. Padahal, UU PDP Pasal 21 mewajibkan perusahaan pemegang data (Pengendali Data Pribadi) untuk menyampaikan informasi detail ini sebelum pemrosesan dimulai.

Singkatnya, kewajiban FotoYu tidak dimulai saat Anda memutuskan membeli foto, tetapi saat wajah Anda diabadikan oleh lensa komersial di JMP.

Membongkar Mekanisme AI: Monetisasi, Bukan Privasi

FotoYu mengklaim memanfaatkan “AI privacy technology“. Klaim ini terdengar meyakinkan, tetapi fungsi inti teknologi tersebut harus dilihat secara kritis.

Begini cara kerja sistem mereka:

  1. Fotografer mengunggah foto massal yang diambil di JMP ke platform.
  2. Foto-foto ini tidak langsung ditampilkan secara publik.
  3. Pembeli harus mendaftar dan mengunggah foto selfie diri mereka sendiri.
  4. AI kemudian mencocokkan wajah dari selfie Anda dengan wajah di dalam galeri foto yang diambil. Hanya foto yang memuat wajah Anda yang akan ditampilkan kepada Anda.

Pada dasarnya, AI di sini berfungsi sebagai “penjaga gerbang monetisasi” yang sangat efisien. Tujuan utamanya bukan membuat wajah Anda anonim atau melindungi Anda dari identifikasi yang tidak diinginkan—yang merupakan fungsi teknologi privasi sejati. Sebaliknya, AI ini secara efektif dan efisien mengidentifikasi Data Pribadi Spesifik (wajah Anda) dari kerumunan untuk satu tujuan: memfasilitasi penjualan yang ditargetkan.

Jebakan Publikasi Default

Setelah Anda terpaksa membeli foto agar bisa mendapatkannya (karena data wajah Anda sudah terekam dan diproses), Anda dihadapkan pada jebakan lain.

Menurut mekanisme operasional, setelah dibeli, foto tersebut secara default akan menjadi publik dan muncul di portofolio fotografer. Anda harus secara eksplisit meminta (opt-out) agar foto Anda tetap privat.

Sistem opt-out untuk publikasi ini melanggar hak Anda sebagai Subjek Data Pribadi untuk mengendalikan pengungkapan data Anda. Penggunaan data wajah Anda untuk kepentingan pemasaran lebih lanjut (publikasi di portofolio) memerlukan persetujuan eksplisit, bukan persetujuan yang tersirat karena Anda lupa atau lalai mengklik tombol privat. Ini bertentangan dengan Asas Pertanggungjawaban (Accountability) dalam UU PDP.

Konsekuensi Hukum: Protes Warganet Hingga Ancaman Pidana

Fenomena ini telah memicu protes daring dari warganet yang mengeluhkan foto mereka dijual tanpa izin privasi. Keluhan ini secara hukum dapat dijadikan bukti bahwa penggunaan data oleh platform telah mengakibatkan kerugian bagi Subjek Data Pribadi.

Sistem yang memonetisasi citra wajah individu tanpa izin—seperti yang terjadi di JMP Ambon—menghadapi risiko hukum ganda:

  1. Sanksi Administratif: Kominfo sebagai regulator dapat menjatuhkan denda finansial, menghentikan sementara kegiatan pemrosesan data, bahkan memerintahkan penghapusan wajib (data wiping) Data Pribadi Spesifik yang dikumpulkan secara ilegal. Bayangkan, fondasi database komersial platform bisa hancur.
  2. Tuntutan Pidana dan Perdata: Pelanggaran yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum (Pasal 67 UU PDP) bisa berujung pada tuntutan pidana, tidak hanya bagi pelaku individu, tetapi juga bagi korporasi dan manajemennya. Selain itu, setiap individu di Ambon yang merasa dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi perdata atas eksploitasi citra mereka.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Fenomena FotoYu adalah pengingat bahwa hak privasi kita tidak hilang saat kaki melangkah ke ruang publik. Tanggung jawab kini ada di tangan kita dan regulator.

Untuk Subjek Data (Anda)

Tingkatkan kewaspadaan. Jika Anda melihat ada operasi fotografi komersial massal, terutama yang menggunakan teknologi AI pengenalan wajah, Anda memiliki hak penuh untuk menolak difoto dan menuntut data Anda tidak dikumpulkan. Anda bisa mengajukan pengaduan melalui Kominfo atau Kepolisian jika hak Anda dilanggar.

Masyarakat sipil—termasuk komunitas seni, lembaga HAM, dan organisasi perlindungan data—harus aktif mengedukasi publik. Warga berhak tahu bahwa mereka bisa menolak saat difoto tanpa izin. Mereka juga berhak menuntut jika fotonya digunakan tanpa persetujuan.

Untuk Platform Digital (dan Fotografer)

Hentikan pengambilan Data Pribadi Spesifik secara massal tanpa Point-of-Capture Consent yang sah. Jika Anda tidak bisa mendapatkan izin eksplisit sebelum menekan tombol shutter, maka data wajah tersebut harus dianonimkan (misalnya, di-blur) secara default sebelum diunggah ke sistem pencocokan AI. Model bisnis harus didasarkan pada Opt-In aktif dari pengguna, bukan asumsi pasif atau jebakan opt-out.

Untuk Pemerintah

Pemerintah Kota Ambon dan aparat penegak hukum perlu segera merespons fenomena ini. Sosialisasi UU PDP harus digencarkan, terutama kepada kelompok-kelompok kreatif seperti fotografer jalanan. Peraturan daerah juga bisa dibuat untuk mengatur aktivitas fotografi komersial di ruang publik—misalnya dengan mewajibkan izin dari dinas terkait atau pelatihan etika fotografi.

Pemerintah perlu bekerja sama dengan regulator untuk memastikan ruang publik, seperti JMP, tetap menjadi zona rekreasi yang aman, bukan arena “pengawasan komersial” yang melanggar hak asasi digital warganya.

Menjaga Ruang Publik Tetap Aman

Ruang publik seperti JMP di Ambon, taman kota Jakarta, atau alun-alun di kota lain adalah simbol kebersamaan. Namun kebersamaan tidak berarti hilangnya hak individu. Kita berhak untuk menikmati ruang publik tanpa khawatir wajah kita akan dijual di internet.

Kita juga berhak untuk difoto—asal tahu dan rela. Keseimbangan ini hanya bisa dijaga bila semua pihak, baik fotografer, platform, maupun masyarakat, memahami prinsip dasar UU PDP: setiap data pribadi adalah milik individu yang bersangkutan, bukan milik siapa pun yang sempat merekamnya.

Kamera adalah alat yang indah, tapi juga berbahaya jika digunakan tanpa kesadaran. Fenomena FotoYu menjadi cermin bagi era digital kita: bagaimana kecepatan teknologi sering kali melampaui kesiapan hukum dan etika.

UU PDP hadir bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik setiap klik, ada manusia dengan hak yang tidak boleh dilanggar. Setiap fotografer, setiap platform, dan setiap pengguna harus belajar berkata:

“Saya menghormati hakmu untuk tidak difoto, sama seperti saya menghormati hakku untuk berkarya.”

Dengan begitu, ruang publik tetap menjadi ruang kebersamaan — bukan arena eksploitasi digital.

error: Content is protected !!