Front Penentang “REPUBLIK MALUKU SELATAN” di Makassar

Front Penentang RMS di Makassar, 1960
Share:

I. Pendahuluan

Pembentukan Negara Indonesia Timur pada akhir tahun 1946 merupakan salah satu strategi dari Pemerintah Belanda untuk melemahkan perjuangan seluruh rakyat Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keberadaan negara boneka ini tidak hanya memecah belah dan merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga memperkeruh hubungan antar suku di Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, wilayah Irian Barat dipisahkan dari identitas bangsa Indonesia, dengan anggapan bahwa penduduk Irian Barat tidak termasuk dalam Bangsa Indonesia, melainkan dari rumpun bangsa Melanesia.

Selama sekitar 4 tahun 4 bulan (dari 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949), jika dihitung hingga 17 Agustus 1950, berlanjut selama lima tahun, politik Belanda dengan semboyan “Nederland zal herrijzen” dikuatkan dengan kekuatan bersenjata. Proses pembangunan dan penyempurnaan Negara Indonesia Timur mengakibatkan korban jiwa lebih dari 40.000 di Sulawesi Selatan serta ribuan di Bali, Manado, Ambon, dan daerah lainnya. Mereka dapat bertahan selama itu karena adanya banyak mata-mata Melayu di dalam tubuh bangsa Indonesia itu sendiri.

Ironisnya, orang Belanda tampaknya tidak pernah belajar dari pengalaman yang mereka alami sebelum pecahnya Perang Asia Timur Raya. Mereka beranggapan bahwa orang Indonesia yang lahir dari kancah peperangan Perang Dunia II adalah sama seperti sebelumnya: dungu, lugu, dan miskin. Pandangan ini juga termasuk stereotip yang berlaku terhadap “orang Ambon”.

II. Front Penentang “Republik Maluku Selatan”

Pada tanggal 25 April 1950, pada malam hari antara pukul 19.00 hingga 22.00 waktu setempat, di Ambon diproklamasikan apa yang dinamakan “Republik Maluku Selatan.” Sehari setelahnya, pada tanggal 26 April, berita tersebut tiba di Makassar melalui Jakarta, dan menyebar dari mulut ke mulut. Berita itu diselubungi beragam isu dan interpretasi. Bentuk resistensi yang demikian ekstrem tidak pernah terlintas dalam pikiran tokoh-tokoh muda yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM). Namun, mereka sepenuhnya menyadari bahwa tokoh-tokoh utama dari masyarakat “orang Ambon,” yang tergabung dalam Sembilan Serangkai, Persatuan Timur Besar (PTB), dan kalangan “oom-oom KNIL,” merasa tidak puas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dan sedang berkembang dalam peta politik ketatanegaraan pada waktu itu, sebagai akibat dari konflik Belanda-Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah menerima berita pada sekitar pukul 13.00, seluruh kegiatan organisasi pemuda tersebut di atas dikerahkan untuk menyukseskan rapat bersama yang akan diadakan pada pukul 17.00, bertempat di rumah Ketua Wanita Maluku, Jl. Daeng Tompo 41. Rapat tersebut melibatkan tiga organisasi massa asal Maluku yang beraliran unitaris di Makassar pada waktu itu, yaitu: Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM), Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM), dan Pemuda Pattimura.

Rapat gabungan yang terdiri dari tokoh-tokoh muda dan tua dari ketiga organisasi tersebut dipimpin oleh Abdjan Soleiman, Ketua IPIM. Suasana rapat saat itu didominasi oleh mereka yang baru dibebaskan pada awal tahun 1950 dari tahanan politik Pemerintah NIT. Mereka melawan dan bertengkar dengan para tokoh yang lebih tua, sering kali diselingi dengan kata-kata kasar. Namun, dalam suasana kacau dan kalut itu, mereka saling berteriak, memotong pembicaraan satu sama lain agar argumen dan pendapat mereka didengar. Akhirnya, suasana tersebut berhasil dikuasai oleh E.U. Pupella, seorang tokoh tua yang memiliki pengalaman matang dalam bidang politik praktis dan diplomasi. Hasil akhir dari pertemuan ini adalah sebuah Komunike Bersama yang didukung oleh ketiga organisasi massa itu dan ditandatangani oleh wakil masing-masing. Komunike Bersama tersebut dikeluarkan pada tanggal 26 April 1950 dan tersusun sebagai berikut:

Komunike Bersama

Sehubungan dengan proklamasi Republik Maluku Selatan tertanggal 25 April 1950, maka pengurus Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM), Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM), dan Pemuda Pattimura di Makassar menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM), Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM), dan Pemuda Pattimura hanya mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan berbakti kepada proklamasi tersebut yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta.

2. Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM), Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM), dan Pemuda Pattimura menolak dan tidak mengakui adanya proklamasi Republik Maluku Selatan, yang diadakan oleh beberapa gerombolan anasir yang tidak bertanggung jawab, serta menghukum tindakan ini sebagai suatu pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia secara umum dan Maluku secara khusus.

3. Menyerukan kepada seluruh organisasi-organisasi Maluku, khususnya, dan Indonesia, umumnya, untuk mengambil tindakan terhadap perbuatan ini.

Mendesak kepada Pemerintah R.I.S. untuk bertindak terhadap para pengkhianat di Maluku tersebut.

Makassar, 26 April 1950

Komunike Bersama ini pada tanggal 30 April didukung dan disetujui oleh tokoh-tokoh utama Maluku yang secara kebetulan berada di Makassar pada waktu itu. Tokoh-tokoh tersebut adalah E.U. Pupella, H.B. Hamid, A. Kudubun, Abd. Gani Renuat, dan Moh. Padang.

Persetujuan mereka tersusun sebagai berikut:

Pernyataan terhadap Proklamasi di Maluku Selatan. Kami anggota-anggota yang dipilih oleh rakyat untuk menjadi wakil dalam Dewan Maluku Selatan di Ambon:

  • E.U. Pupella
  • H.B. Hamid
  • A. Kudubun
  • Abd. Gani Renuat

Kami yang kini berada di Makassar, serta wakil-wakil yang dipilih langsung oleh rakyat untuk Maluku Selatan dalam Perwakilan Rakyat, yaitu:

  • E.U. Pupella
  • H.B. Hamid
  • A. Kudubun

Serta saudara Moh. Padang, yang kini berada di Makassar, mewakili rakyat Maluku di Republik Indonesia dalam Dewan Perwakilan RIS, menyatakan dengan ini bahwa:

  1. Pernyataan yang dikemukakan dalam Proklamasi Maluku Selatan sebagai Republik Maluku Selatan, yang terlepas dari N.I.T., adalah tidak sah, karena: a. Bertentangan dengan Piagam Penyerahan Kedaulatan Indonesia tanggal 27 Desember 1949; b. Bertentangan dengan hukum ketatanegaraan Daerah Maluku Selatan.
  2. Menyetujui Komunike Bersama dari Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM), Ikatan Pemuda Indonesia Maluku (IPIM), dan Pemuda Pattimura tanggal 26 April 1950.

Makassar, 30 April 1950.

Kelanjutan pembicaraan setelah tersusunnya komunike tersebut, ditetapkan Sekretariat Front Penentang yang berlokasi di Kementerian Penerangan NIT. di General van Dalen Weg No. 42. Sekarang alamat tersebut adalah Jl. Sultan Hasanuddin No. 42, Ujungpandang. Tembusan komunike bersama itu dikirimkan kepada pers, surat kabar, dan radio. Dalam rapat-rapat berikutnya, rencana jangka panjang dan rencana jangka pendek disusun. Rencana jangka pendek yang pertama kali disusun adalah rencana propaganda balik, yang terdiri atas serangkaian pidato radio dan 2 atau 3 buah fragmen sandiwara radio. Rencana propaganda balik tersebut dimulai dengan pidato radio yang disampaikan oleh Mohd. Padang, Anggota Parlemen RIS, melalui Radio Nasional Indonesia Makassar pada tanggal 1 Mei 1950. Selanjutnya, berpidato Abdjan Soleiman, Ketua IPIM; D.I. Wattimena, Ketua KRIM; Cs. Hully-Djanaedi, Ketua Bagian Penerangan IPIM; L.E. Manuhua, Ketua Bagian Penerangan Front Penentang; D.I. Wattimena, Ketua KRIM; dan Ibu Ne Pattileuw, Ketua Wanita Maluku.

Pidato-pidato radio tersebut diselingi dengan pementasan beberapa kali sandiwara radio. Salah satu judul sandiwara radio itu adalah ‘Sio Kasiang’. Pidato radio yang terakhir disampaikan pada tanggal 18 Agustus 1950 oleh R.S. Pelupessy, Pegawai Pamong-Praja yang diperbantukan di Kementerian Urusan Dalam Negeri di Makassar.

Rencana jangka panjang bertujuan untuk mempersiapkan dan melatih pasukan bersenjata dalam jangka waktu tertentu, agar dapat diterjunkan di lini belakang untuk membantu kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia yang akan dikirim ke Maluku dalam menghadapi pasukan musuh. Dari ratusan pemuda yang direkrut pada bulan Mei, Juni, dan Juli 1950, hanya tersaring sedikit pasukan melalui tes terakhir, dengan kekuatan satu peleton kurang lebih. Meskipun jumlahnya sedikit, mereka dijamin siap untuk Operasi Militer Penumpasan RMS yang sedang disusun dengan bantuan tenaga-tenaga inti, seperti Wim Ferdinandus, Correns Hully, Moksen Helwakan, Muluk Makatita, dan puluhan pemuda asal Maluku yang tergabung dalam Pasukan Terpendam di bawah pimpinan Letnan Moh. Qasim Maruapey dari PMC/Penyelidik Militer Khusus (Chusus), yang kemudian berubah menjadi FP/Field Preparation dari Bantanawarsa 32 Yogyakarta. Para tokoh utama Pasukan Terpendam tersebut enam bulan sebelumnya telah dijatuhkan langsung oleh MBAD Yogyakarta dengan rendezvous di Makassar sebagai persiapan untuk menghadapi keadaan di Maluku, yang pada tahun 1950 akan segera berubah. Perundingan di Makassar diadakan di alamat Hospitaalweg 24A. Kini, di bekas alamat tersebut berdiri megah Hotel Victoria.

Usaha-usaha dari rencana jangka pendek maupun rencana jangka panjang, saat pelaksanaannya, selalu diinformasikan kepada Komando KMK Makassar. Komandan KMK Makassar pada waktu itu adalah Mayor Herman Pieters. Setidaknya, pimpinan Staf II yang dikomandoi oleh Kapten Leo Lopolissa dari Staf Komando Territorium VII mengetahui apa yang sedang dikerjakan oleh Front Penentang dalam rangka mempersiapkan organisasinya menjelang rencana operasi militer yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Selain kedua tugas utama yang telah dipaparkan, terdapat satu tugas penting lainnya. Tugas tersebut adalah membantu memantau berita dan informasi apapun yang disiarkan melalui Radio Ambon. Permintaan khusus ini didasarkan pada asumsi bahwa berita-berita yang memiliki kecenderungan tertentu pasti akan disampaikan dalam Bahasa Belanda. Mengingat bahwa sebagian besar pengurus IPTN terdiri dari pemuda pelajar yang masih aktif belajar, antara lain sebagai murid di Algemene Middelbare School Klas III, murid di Hogere Burger School Makassar Klas V, dan murid di Middelbare Bestuur School Klas III, pada umumnya mereka semua lulusan sekolah dasar yang sebelumnya dikenal sebagai Hollands Inlandse School. Mereka semua fasih berbahasa Belanda, tidak hanya dalam berbicara, tetapi juga dalam menulis dan membaca. Hasil monitoring berita tersebut kemudian diserahkan kepada Staf II Komando Territorium VII.

Untuk membuktikan bahwa cerita mengenai Front Penentang adalah sebuah fakta sejarah dan bukan sekadar isapan jempol, kami akan mengutip cerita tentang Front Penentang “Republik Maluku Selatan” dari buku Kronik Dokumentasi Isi: Peristiwa: “Republik Maluku Selatan” Maret 1951, No. 3, Kementerian Penerangan, Bagian Dokumentasi, Jakarta, hal. 11.

Front Penentang Proklamasi Republik Maluku Selatan

Pada tanggal 3-5 Mei, Radio Makassar mengumumkan bahwa Presiden Negera Indonesia Timur (NIT) telah menerima pesan dari kepala daerah di Sumbawa yang menyatakan dukungannya terhadap pembentukan organisasi-organisasi seperti “Kebaktian Rakyat Maluku,” “Ikatan Pemuda Indonesia Maluku,” dan “Pemuda Pattimura” di Makassar, yang menolak proklamasi Republik Maluku Selatan. Mereka mendesak pemerintah RIS agar segera mengambil tindakan untuk membebaskan anggota Dewan Maluku Selatan yang dianggap reaksioner, yang tindakannya dinilai tidak bertanggung jawab dan mengganggu keamanan masyarakat. Selain itu, Radio Makassar menginformasikan bahwa “Front Penentang Proklamasi Republik Maluku Selatan” yang terdiri dari perhimpunan Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku, Ikatan Pemuda Indonesia Maluku, Pemuda Pattimura, dan Wanita Maluku di Makassar, juga mendapatkan dukungan dari kepala daerah Kupang (Timor) yang menyatakan mendukung resolusi front tersebut. Dewan Partai Kedaulatan Rakyat di Makassar dalam siarannya menyatakan dukungannya terhadap resolusi yang ditetapkan oleh “Front Penentang Proklamasi Republik Maluku Selatan” pada sidangnya tanggal 26 April lalu (Jakarta, Antara 5-5-1950).

3 thoughts on “Front Penentang “REPUBLIK MALUKU SELATAN” di Makassar

Comments are closed.

error: Content is protected !!