Maluku Mengukir Sejarah: Dua Pahlawan, Dua Era Kontribusi Nasional

Share:

Kementerian Sosial (Kemensos) telah melangkah maju dalam proses seleksi kepahlawanan dengan mengusulkan total 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon . Daftar “Usulan Baru Tahun 2025” yang mencakup tokoh-tokoh ikonik seperti Gus Dur dan Marsinah ini menegaskan komitmen negara untuk mengakui kontribusi yang lebih beragam—mulai dari perjuangan fisik, reformasi sosial, hingga pembangunan ilmu pengetahuan.

Dalam daftar prestisius tersebut, perhatian tertuju pada Provinsi Maluku yang menonjolkan dua figur monumental: Abdoel Moethalib Sangadji dan Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy. Kedua tokoh ini, meskipun berasal dari latar belakang pengabdian yang kontras—yang satu adalah pejuang revolusi, yang lain adalah arsitek teknokrat—secara sinergis menunjukkan kekayaan kontribusi Maluku di dua fase krusial sejarah Indonesia: masa kemerdekaan dan masa pembangunan.

Proses Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional: Sebuah Ekosistem yang Terintegrasi

Proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional di Indonesia bukanlah sebuah langkah sepihak, melainkan sebuah ekosistem yang kompleks, terstruktur, dan melibatkan berbagai pihak dari tingkat daerah hingga pusat. Rangkaian prosedural ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap usulan mendapatkan penilaian yang mendalam dan profesional sebelum diserahkan kepada lembaga tertinggi negara untuk keputusan akhir. Pada tahun 2025, Kementerian Sosial (Kemensos) menyerahkan 40 nama calon pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, pada tanggal 21 Oktober atau 24 Oktober 2025. Penyerahan tersebut dilakukan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai tindak lanjut dari kajian dan verifikasi yang telah dilakukan.

Langkah awal dalam proses ini berasal dari masyarakat dan pemerintah daerah. Usulan dapat diajukan oleh masyarakat, lembaga kemasyarakatan, atau pemerintah daerah (tingkat kabupaten/kota). Proses ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat serta para ahli sejarah setempat untuk membangun dasar pemikiran dan bukti pendukung yang kuat. Setelah usulan diterima, ia akan melewati tahapan verifikasi dan penilaian di tingkat provinsi, yang melibatkan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). Tahap ini penting untuk memverifikasi keabsahan bukti-bukti sejarah dan memastikan bahwa tokoh bersangkutan memenuhi persyaratan formil dan substantif sesuai peraturan perundang-undangan.

Setelah lolos verifikasi di tingkat provinsi, usulan selanjutnya diajukan ke Kemensos. Di tingkat pusat, usulan tersebut dikaji lebih lanjut oleh Tim Pengkajian dan Penelitian Pahlawan Nasional (TP2P) tingkat pusat, yang diketuai oleh Dr. Usep Abdul Matin, atau sering disebut Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Tim ini terdiri atas para ahli lintas disiplin ilmu, termasuk akademisi, tokoh agama, dan perwakilan daerah, yang melakukan kajian menyeluruh terhadap biografi, kontribusi, dan dampak sosial historis sang tokoh. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa seluruh nama dalam usulan 40 besar tahun 2025 telah memenuhi syarat administratif (formil). Hasil kajian dari TP2GP inilah yang menjadi landasan bagi Kemensos untuk mengajukan nama-nama tersebut kepada Dewan GTK.

Dewan GTK, yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan teknis atas usulan-usulan tersebut. Proses di Dewan GTK melibatkan penelitian, pembahasan, dan verifikasi ulang sebelum usulan-usulan tersebut “disidangkan”. Keputusan final atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tetap berada di tangan Presiden Republik Indonesia. Hasil rekomendasi dari Dewan GTK akan disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto sebelum Hari Pahlawan, yaitu pada 10 November 2025. Pengumuman resmi mengenai penganugerahan gelar ini pun direncanakan akan dilakukan oleh Presiden pada momen peringatan Hari Pahlawan tersebut. Meskipun prosesnya panjang dan melibatkan banyak pihak, informasi publik tentang daftar lengkap 40 nama tidak sepenuhnya tersedia di semua sumber, meskipun beberapa nama individu telah diidentifikasi dari laporan-laporan media dan memorandum internal.

Baca Juga: “Prof. Dr. G.A. Siwabessy: Sang Upuleru, Pelopor Kesehatan dan Teknologi Nuklir Indonesia”

Perjuangan Abdoel Moethalib Sangadji dan Kontribusi G.A. Siwabessy

Dalam konteks 40 nama calon pahlawan nasional tahun 2025, dua tokoh asal Maluku, Abdoel Moethalib Sangadji dan Gerrit Augustinus Siwabessy, menarik perhatian karena perjalanan panjang dan signifikannya kontribusi mereka. Meskipun profil lengkap mereka tidak diuraikan secara rinci dalam semua dokumen pengusulan umum, data yang tersedia membentuk gambaran tokoh-tokoh hebat dengan jejak sejarah yang mendalam.

Abdoel Moethalib (A.M.) Sangadji lahir pada 3 Juni 1889 di Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Ia adalah putra dari seorang bangsawan lokal, Raja Abdoel Wahab Sangadji dari Rohomoni, dan ibunya, Siti Saat Patisahusiwa, adalah putri raja dari Pulau Saparua. Meskipun lahir dalam posisi istana, Sangadji memilih jalur perjuangan kemerdekaan daripada menjadi raja. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda sebagai griffir landraad (panitera pengadilan) di Saparua dan Ambon, namun mengundurkan diri pada 1919 karena protes terhadap ketidakadilan sistem kolonial. Ia bergabung dengan organisasi pergerakan modern, Sarekat Islam (SI), dan menjadi salah satu pendiri SI pada 1912 bersama Oemar Said Tjokroaminoto dan H. Agoes Salim, sehingga dikenal sebagai “Trio SI”. Ia juga hadir dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, tempat semangat satu nusa, satu bangsa, satu bahasa diproklamasikan.

Jejak perjuangannya sangat luas, menyebar dari Maluku ke Jawa dan Kalimantan. Pada era 1920-an di Samarinda, Kalimantan Timur, A.M. Sangadji mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR) serta Neutrale School Vereniging (NSV) untuk pendidikan anak bumiputera, menunjukkan fokusnya pada pembangunan sumber daya manusia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia menyebarkan berita kemerdekaan dari Samarinda ke Banjarmasin dan mengibarkan bendera Merah Putih di kedua kota tersebut. Ia ditangkap polisi Belanda April 1946 dan dipenjara di Banjarmasin hingga dibebaskan pada 1946. Setelah bebas, ia pindah ke Yogyakarta dan memimpin Laskar Hisbullah, suatu ormas yang juga melahirkan tokoh seperti Soedirman. Ia gugur dalam kekerasan politik, ditembak mati oleh sekelompok orang tak dikenal di kediamannya di Jetis, Yogyakarta, pada 20 April 1949. Ia diberi julukan “Jago Toea” (“Si Tua Jago”) oleh para pejuang lainnya dan “Jago Tua” oleh penjajah Belanda karena kepandaiannya berpidato.

Sementara itu, Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy lahir di Ullath, Saparua, Maluku Tengah, pada 19 Agustus 1914. Berbeda dengan Sangadji yang berjuang di masa pergerakan, Siwabessy berkontribusi besar pada pembangunan pasca-kemerdekaan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menamatkan pendidikannya di HIS dan MULO di Ambon sebelum melanjutkan studi kedokteran di NIAS (sekarang UI) Surabaya, lulus sebagai dokter pada 1942. Beberapa bulan kemudian, ia mendapat beasiswa dari British Council untuk studi lanjut di bidang radiologi dan dasar-dasar ilmu atom di sejumlah universitas dan rumah sakit ternama di Inggris. Kepiawaiannya begitu mencolok sehingga hanya dalam waktu tiga bulan di London, ia sudah diangkat sebagai asisten di Hammersmith Hospital.

Kontribusinya bagi bangsa Indonesia sangat monumental. Pada 1954, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Ketua Komite Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitas. Pada 1962, ia didaulat menjadi Direktur Jenderal Pertama Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), dan pada 1964, menjabat sebagai Menteri Lembaga Tenaga Atom Nasional. Pada 1966, ia juga ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Dalam jabatannya sebagai Menkes, ia memperkenalkan sistem Asuransi Kesehatan (Askes). Sebagai Bapak Atom Indonesia, jasanya tidak hanya terbatas pada energi nuklir, melainkan juga pemanfaatan tenaga nuklir untuk kesehatan, pertanian, dan industri. BRIN masih menghormatinya dengan menyelenggarakan G.A. Siwabessy Memorial Lecture setiap tahun. Ia wafat pada 11 November 1982. Keduanya, baik Sangadji maupun Siwabessy, telah diabadikan dalam nama-nama umum, seperti jalan-jalan utama di Ambon, Samarinda, Yogyakarta, dan Solo.

Baca Juga: “A.M. Sangadji: Simpul Pergerakan Nasional dari Timur”

Jalur Pengusulan dan Relevansi Jejak Sejarah Tokoh Maluku

Perjalanan panjang pengusulan Abdoel Moethalib Sangadji dan G.A. Siwabessy ke dalam daftar calon pahlawan nasional tahun 2025 mencerminkan dinamika antara aspirasi daerah, dukungan akademik, dan prosedur birokrasi nasional. Jejak sejarah keduanya yang luar biasa tidak hanya relevan bagi Provinsi Maluku, tetapi juga memiliki dampak nasional yang signifikan, yang menjadi fondasi kuat bagi upaya pengusulan mereka.

Abdoel Moethalib Sangadji telah menjadi objek pengusulan yang gigih dari pemerintah daerah Maluku. Usulan perdana tercatat dilakukan sejak tahun 2011. Proses pengusulan terus berlanjut, dengan usulan yang diajukan kembali pada Agustus 2021 dan didukung oleh DPRD Maluku. Pada 10 April 2025, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku menyampaikan usulan baru secara langsung di gedung Kementerian Sosial di Jakarta Pusat, menandai inisiatif independen dari daerah. Upaya-upaya ini tidak hanya dilakukan oleh aparatur pemerintah, tetapi juga didukung oleh kalangan intelektual dan aktivis masyarakat sipil. Terdapat kampanye publik berbasis akar rumput yang melibatkan anak muda, serta dukungan akademik dari para sejarawan dan peneliti seperti Sam Habib Mony dan Dr. Sem Touwe dari Universitas Pattimura Ambon. Kajian mendalam tentang biografinya oleh peneliti monograf telah menjadi rujukan penting bagi tim pengkaji gelar di tingkat daerah maupun nasional. Keberhasilan Sangadji masuk ke dalam 16 besar calon pahlawan nasional pada tahun 2023, sebagaimana dicatat dalam Memorandum Sekretaris Militer Presiden, menandakan bahwa usulannya telah melampaui ujian awal dan dianggap layak untuk pertimbangan lebih lanjut. Usulannya bahkan sempat dimasukkan dalam kategori “usulan tunda” untuk periode sebelumnya, menunjukkan bahwa prosesnya sudah berjalan cukup lama.

G.A. Siwabessy, meski juga memiliki panggilan daerah dari Maluku, tampaknya jalur pengajuannya sedikit berbeda. Ia diusulkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku pada tahun 2021. Statusnya dimasukkan ke dalam kategori “usulan memenuhi syarat diajukan kembali”, yang menunjukkan bahwa ada proses evaluasi sebelumnya yang menilai usulannya memiliki potensi, namun belum memenuhi semua kriteria pada waktu itu. Dukungan atas pengusulannya datang dari kalangan profesional dan akademik. Diajukannya nama AM. Sangadji untuk dijadikan nama Universitas Islam Negeri (UIN) Ambon menunjukkan relevansi sejarahnya bagi institusi pendidikan tinggi di daerah tersebut. Meskipun tidak ada informasi spesifik tentang usulan Siwabessy dari kalangan akademik, kontribusinya dalam pembangunan sains dan kesehatan nasional tentu saja relevan dan patut dipertimbangkan dalam konteks perjuangan bangsa di era modern.

Relevansi jejak sejarah kedua tokoh ini bagi nasionalisme Indonesia sangat kuat. Sangadji bukanlah sekadar pejuang lokal; perjuangannya melampaui batas-batas pulau. Ia berperan penting dalam gerakan nasional seperti Sarekat Islam dan Kongres Pemuda II. Jejaknya di Kalimantan, terutama di Samarinda, di mana ia mendirikan sekolah alternatif untuk anak bumiputera, menunjukkan visi pembangunan nasional yang inklusif. Perannya dalam menyebarkan proklamasi dan membentuk laskar di luar Jawa menunjukkan komitmennya terhadap perjuangan bersenjata secara nasional. Sementara itu, kontribusi Siwabessy tidak hanya relevan untuk Maluku, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Sebagai Bapak Atom Indonesia, jasanya membuka jalan bagi pengembangan teknologi nuklir untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk senjata. Keterlibatannya dalam pembentukan BATAN, Askes, dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) UI menunjukkan dedikasi multidimensi terhadap pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur ilmiah nasional. Keduanya, melalui cara yang berbeda—melalui perjuangan politik dan militer versus pembangunan ilmiah dan administrasi—telah meninggalkan warisan yang nyata dan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.

Kriteria dan Perbandingan dengan Tokoh-Tokoh Lain dalam Daftar 2025

Usulan 40 nama calon pahlawan nasional tahun 2025, termasuk tokoh dari Maluku, menuntut pemahaman mendalam tentang kriteria substansial yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana tokoh-tokoh ini cocok (atau kurang cocok) dengan kriteria tersebut. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan enam syarat substantif untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional:

  1. pernah memimpin perjuangan bersenjata, politik, atau di bidang lain untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan;
  2. tidak pernah menyerah pada musuh;
  3. pengabdian hampir sepanjang hidupnya;
  4. melahirkan gagasan besar yang menunjang pembangunan nasional;
  5. menghasilkan karya besar yang bermanfaat luas;
  6. memiliki semangat kebangsaan tinggi.

Syarat administrasi meliputi surat usulan lengkap dengan lampiran berupa Buku Biografi dan dokumen pendukung lainnya.

Tokoh-tokoh yang disebut-sebut dalam usulan 2025 menampilkan spektrum perjuangan yang sangat luas, mulai dari figur-era pergerakan seperti Soeharto dan Abdurrahman Wahid, yang diusulkan sejak lama (tahun 2010), hingga tokoh era reformasi seperti aktivis buruh Marsinah, yang diusulkan baru pada tahun 2025. Abdoel Moethalib Sangadji sangat cocok dengan kriteria pertama (memimpin perjuangan politik dan militer di luar Jawa) dan keenam (semangat kebangsaan tinggi melalui perjuangannya di berbagai wilayah). Jejaknya sebagai pendiri SI, peserta KONGRES PEMUDA II, dan pimpinan laskar Hisbullah di Yogyakarta memberikan basis yang kuat untuk klaim gelar ini. Kriteria “tidak pernah menyerah pada musuh” juga sangat relevan, mengingat ia gugur dalam perjuangan.

Di sisi lain, G.A. Siwabessy lebih sesuai dengan kriteria empat dan lima: melahirkan gagasan besar (pemanfaatan nuklir untuk kesejahteraan) dan menghasilkan karya besar (pendirian BATAN dan reformasi sistem kesehatan nasional). Karyanya memberikan dampak yang sangat luas dan berkelanjutan bagi pembangunan nasional, menjadikannya contoh perjuangan di bidang ilmu pengetahuan. Namun, analisis menunjukkan bahwa pengusulan tokoh-tokoh seperti Soeharto dan Abdurrahman Wahid, meskipun formalitasnya telah dipenuhi, menimbulkan kontroversi yang lebih besar. Selain pertimbangan substantif, proses pengusulan mereka juga melibatkan pertimbangan-pertimbangan politis dan sosial yang kompleks, yang turut menjadi pertimbangan bagi Dewan GTK. Keberadaan Marsinah, tokoh yang diusulkan pada tahun yang sama, menambah dimensi baru pada daftar tersebut, yaitu perjuangan kaum buruh dan hak asasi manusia.

Nampak bahwa meskipun Sangadji dan Siwabessy memiliki kasus pengusulan yang kuat berdasarkan kriteria formal, daftar 40 nama tersebut juga mencerminkan isu-isu perdebatan yang sedang hangat dalam masyarakat. Kehadiran tokoh-tokoh kontroversial seperti Soeharto dan Gus Dur menunjukkan bahwa Dewan GTK tidak hanya menilai “kepahlawanan” dalam arti sempit, tetapi juga dampak sosial dan historis yang lebih luas, termasuk narasi-narasi kolektif bangsa yang sedang berkembang.

Dinamika Publik dan Implikasi Politis dari Pengusulan 2025

Pengusulan 40 nama calon pahlawan nasional tahun 2025, terutama dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Soeharto dan Abdurrahman Wahid, telah menimbulkan reaksi publik yang beragam dan dinamis. Proses pengusulan yang sebelumnya dianggap sebagai urusan birokrasi administratif kini telah bertransformasi menjadi topik perdebatan politik dan sosial yang hangat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebelumnya menegaskan bahwa seluruh nama dalam daftar telah memenuhi syarat administratif dan substantif, serta bahwa semua pendapat pro-kontra akan menjadi pertimbangan dalam proses penilaian di Dewan GTK. Pernyataan ini secara implisit mengakui adanya polemik di luar sana.

Tokoh-tokoh seperti Soeharto dan Gus Dur memiliki sejarah yang kompleks dan sering kali kontroversial. Soeharto, meskipun dianggap berhasil dalam stabilitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur, juga dikenal dengan rezim Orde Baru yang otoriter, korupsi massal, dan pelanggaran HAM yang signifikan. Pengusulannya kembali setelah lama diusulkan menimbulkan pertanyaan besar tentang nilai-nilai yang ingin dijunjung tinggi bangsa ini. Di sisi lain, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden ke-4 RI, diusulkan karena kontribusinya dalam era reformasi, demokratisasi, dan perlindungan HAM. Namun, reputasinya juga tidak luput dari kontroversi. Keputusan untuk memasukkan keduanya dalam satu daftar besar menunjukkan bahwa proses pengusulan tidak lagi bisa dipisahkan dari dinamika politik nasional dan perdebatan sejarah yang terus berlangsung.

Dalam konteks ini, pengusulan tokoh-tokoh dari daerah seperti Abdoel Moethalib Sangadji dan G.A. Siwabessy dari Maluku memiliki implikasi strategis sendiri. Bagi masyarakat Maluku, pengusulan tokoh-tokoh seperti Sangadji, yang perjuangannya di luar Jawa jarang diceritakan, merupakan bentuk pengakuan akan peran penting daerah dalam meraih kemerdekaan. Hal serupa berlaku untuk Siwabessy, di mana penghargaannya atas kontribusinya di bidang sains dan kesehatan akan memberikan inspirasi generasi muda di Maluku dan seluruh Indonesia untuk berprestasi di kancah nasional dan internasional. Upaya pengusulan yang gigih dari kalangan akademisi, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah di Maluku menunjukkan bahwa ini adalah sebuah gerakan nasionalisme regional yang sah dan penting.

Namun, implikasi politis dari daftar 40 nama ini jauh melampaui pengakuan daerah. Daftar tersebut telah menjadi simbol perdebatan tentang arah sejarah nasional dan siapa yang pantas dianggap pahlawan. Kehadiran Marsinah, aktivis buruh perempuan yang gugur dalam peristiwa Tanjung Priok, menambah dimensi baru pada diskusi tersebut, yaitu perjuangan sosial-ekonomi dan hak asasi manusia. Dengan memasukkan tokoh-tokoh dengan latar belakang perjuangan yang sangat berbeda—militer, politik, sosial, dan ilmiah—dalam satu wadah, pemerintah seolah-olah mencoba untuk membuat sebuah kesimpulan historis besar. Ini bisa diinterpretasikan sebagai upaya untuk menyatukan narasi-narasi perjuangan yang berbeda-beda menjadi satu cerita nasional yang utuh, atau malah sebagai manifestasi dari perpecahan dalam pandangan sejarah bangsa.

Akhirnya, proses pengusulan tahun 2025 menunjukkan bahwa status “Pahlawan Nasional” tidak lagi hanya sebuah gelar anumerta tertinggi, tetapi alat politik dan simbol identitas nasional yang sangat kuat. Keputusan akhir di tangan Presiden akan memiliki dampak jangka panjang terhadap narasi sejarah, pendidikan nasional, dan citra tokoh-tokoh yang bersangkutan. Dinamika publik yang muncul selama proses ini menegaskan bahwa setiap keputusan akan dibaca, ditafsirkan, dan diperebutkan oleh berbagai kelompok masyarakat, dan hasilnya akan menentukan arah pembentukan ingatan kolektif bangsa Indonesia.

Tinjauan Akhir: Relevansi, Perspektif, dan Momentum Penghargaan Bangsa

Proses pengusulan 40 nama calon pahlawan nasional tahun 2025, khususnya yang melibatkan tokoh-tokoh Maluku seperti Abdoel Moethalib Sangadji dan G.A. Siwabessy, membawa kita pada pemahaman yang lebih luas tentang makna dan dinamika penghargaan nasional di Indonesia saat ini. Proses yang kompleks, melibatkan jalur dari tingkat desa hingga ke level pusat dan akhirnya ke tangan Presiden, menunjukkan bahwa penganugerahan gelar ini adalah bentuk ritual politik yang sarat makna. Itu bukan hanya sekadar pengakuan atas kontribusi individu, tetapi juga refleksi dari perdebatan-perdebatan kontemporer tentang sejarah, nasionalisme, dan nilai-nilai bangsa.

Pengusulan Sangadji dan Siwabessy memiliki relevansi ganda. Pertama, dari perspektif daerah, penghargaan nasional bagi mereka adalah bentuk pengakuan yang sangat penting atas kontribusi dan jasa mereka bagi Provinsi Maluku dan Indonesia secara keseluruhan. Sangadji, dengan perjuangannya di masa pergerakan, menegaskan peran penting Maluku dalam perjuangan kemerdekaan nasional, sebuah peran yang seringkali luput dari perhatian publik nasional. Siwabessy, sebagai tokoh ilmu pengetahuan, memberikan inspirasi bagi generasi muda Maluku untuk berkontribusi besar bagi bangsa melalui pendidikan dan penelitian. Kedua, dari perspektif nasional, penghargaan terhadap mereka menambah dimensi baru pada narasi kepahlawanan. Sangadji menambahkan elemen perjuangan politik dan militer di luar Jawa, sementara Siwabessy menyoroti pentingnya perjuangan ilmiah dan administrasi publik dalam membangun bangsa yang modern dan mandiri.

Namun, momentum pengusulan tahun 2025 terasa sangat istimewa karena dilestarikan oleh konteks politik dan sosial yang sangat polarisasi. Kehadiran nama-nama seperti Soeharto dan Gus Dur dalam daftar yang sama telah memicu perdebatan panjang di masyarakat, menunjukkan bahwa proses pengusulan tidak bisa dilepaskan dari kontestasi sejarah dan kepentingan politik hari ini. Penghargaan atas Marsinah, tokoh perempuan buruh yang gugur dalam perjuangan, menambah lapisan tambahan pada diskusi tentang keadilan sosial dan HAM. Dalam kondisi seperti ini, pengusulan Sangadji dan Siwabessy, meskipun memiliki kasus yang kuat berdasarkan kriteria formal, berada dalam situasi yang unik. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan tokoh-tokoh kontroversial, tetapi juga harus meyakinkan bahwa penghargaan terhadap mereka akan memperkuat narasi nasional yang inklusif dan pluralis, bukan memperdalam retakan-retakan sejarah.

Dalam tinjauan akhir, proses pengusulan 40 nama tahun 2025 adalah sebuah cerminan yang tajam dari tantangan pengelolaan ingatan kolektif di Indonesia. Apakah penghargaan nasional akan digunakan untuk menyatukan narasi-narasi sejarah yang berbeda, atau apakah hal itu akan memperburuk polarisasi? Jawaban atas pertanyaan ini akan ditentukan oleh keputusan Presiden pada 10 November 2025, yang akan menjadi titik balik dalam proses ini. Penghargaan terhadap Sangadji dan Siwabessy akan lebih bermakna jika diambil dalam konteks upaya menyempurnakan narasi nasional, dengan cara mengakui peran mereka tidak hanya sebagai tokoh daerah, tetapi sebagai pahlawan nasional yang relevan bagi semua warga Indonesia. Penghargaan tersebut akan menjadi bentuk pengakuan bahwa perjuangan bangsa ini adalah sebuah proses panjang dan multiform, yang melibatkan banyak pihak dari berbagai latar belakang dan bidang.

error: Content is protected !!