Sasi adalah sebuah istilah yang mencakup serangkaian kearifan lokal, hukum adat, dan praktik ritual yang telah berkembang di Maluku dan Papua sejak setidaknya abad ke-17. Secara etimologis, sasi berarti larangan terhadap pengambilan atau pemanfaatan sumber daya alam tertentu selama periode waktu tertentu. Namun, makna ini menyesatkan jika dipahami secara sempit. Sejatinya, sasi bukan sekadar aturan negatif; melainkan sebuah sistem komprehensif yang mengatur akses, penggunaan, dan pelestarian sumber daya lahan, laut, sungai, dan hutan dalam konteks hubungan sosial yang kompleks. Dasar dari sistem ini adalah konsep kepemilikan komunal yang dikenal sebagai petuanan (di Maluku Tengah) atau bati (di Maluku Utara), yaitu wilayah kelola bersama masyarakat adat yang batas-batasnya ditentukan oleh fitur-fitur alam seperti tanjung. Wilayah-wilayah ini menjadi ruang hidup bagi berbagai jenis sasi, termasuk sasi laut, sungai, hutan, dan darat.
Praktik sasi sangat bervariasi namun memiliki prinsip umum yang sama, yaitu konservasi jangka panjang. Misalnya, di Desa Haruku, Maluku Tengah, diterapkan sasi laut untuk ikan lompa (Thrissina baelama) dengan penutupan 5–7 bulan. Di Negeri Seith, Maluku, terdapat sasi pala (Myristica fragrans) yang dilakukan untuk menjaga keberlanjutan ekonomi, keseimbangan sosial, dan ekologi. Sasi juga diterapkan pada sumber daya lainnya seperti teripang, kerang trocas (Trochus niloticus), kelapa, cengkeh, pinang, dan sagu. Fungsinya tidak hanya terbatas pada konservasi biotik, tetapi juga mencakup pengawasan penggunaan lahan komunitas, distribusi hasil yang adil, dan bahkan penegakan nilai-nilai sosial, seperti larangan membuat keributan. Sistem ini secara organik memperkuat ikatan sosial dan harmoni antarwarga karena semua aturan didasarkan pada kesepakatan bersama.
Pengelolaan dan penegakan sasi dilakukan oleh lembaga adat yang sudah mapan, paling umum disebut Lembaga Kewang. Kewang adalah institusi formal yang dipimpin oleh seorang pemimpin adat, seperti Raja Negeri atau Kepala Kewang, yang memiliki legitimasi turun-temurun. Mereka diberi wewenang untuk menetapkan peraturan, memberlakukan larangan, dan menegakkan sanksi atas pelanggaran. Struktur organisasi Kewang biasanya cukup rinci, mencakup posisi sekretaris, bendahara, dan anggota dari masing-masing klan (Soa). Penegakan aturan oleh Kewang terbukti sangat efektif; sebuah studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan bisa mencapai 85% ketika dipimpin oleh tokoh dengan legitimasi budaya yang kuat. Proses formalisasi dilakukan melalui upacara-upacara adat yang sakral. Misalnya, penutupan sasi laut sering ditandai dengan penempatan tanda larangan dari kayu dan daun kelapa muda (salele) di lokasi sasi, atau peletakan janur kuning di tempat-tempat yang akan diberlakukan sasi. Pembukaan kembali sasi dilakukan dengan upacara serupa, misalnya dengan membakar daun kelapa (lobe) pada pukul 03.00 pagi di Pulau Haruku.
Meskipun sistemnya tampak rigid, sasi memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan kondisi sosial dan lingkungan. Aturan-aturan tersebut dapat dimodifikasi melalui musyawarah adat (ratuf) antara lembaga adat, pemimpin desa, dan tokoh-tokoh masyarakat. Contohnya, selama pandemi Covid-19, sasi diperluas maknanya di Kabupaten Maluku Tengah untuk melarang akses ke pasar tradisional, kantor desa, dan sekolah-sekolah demi mencegah penularan virus. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dasarnya adalah aturan adat, penerapannya tetap berada dalam koridor dialog dan kesepakatan komunitas. Sanksi atas pelanggaran pun bervariasi, mulai dari denda uang, kerja paksa, pengucilan sosial, hingga sanksi magis yang berdasarkan keyakinan akan kutukan roh leluhur (mataruma) atau datangnya penyakit mendadak. Dengan demikian, sasi adalah fondasi sosial-lingkungan yang fundamental bagi masyarakat adat di Maluku dan Papua, yang tidak hanya menjaga keberlanjutan alam, tetapi juga mempertahankan tata kelola sosial yang inklusif dan adil.
Transformasi Makna: Pergeseran Fungsi Sasi dari Konservasi Alam ke Perlindungan Aset Pribadi
Transformasi makna sasi merupakan fenomena nyata yang terjadi di beberapa wilayah adat di Maluku dan Papua Barat, di mana fungsi utama sasi bergeser dari konservasi sumber daya alam ke perlindungan aset properti pribadi. Perubahan mendasar ini tercermin dalam studi kasus di Desa Sailolof, Kabupaten Sorong, Papua Barat, yang dilakukan oleh Suntoko, Pudentia MPPS, dan Ruhaliah pada tahun 2016. Di desa ini, sasi darat, yang awalnya merupakan praktik kolektif untuk melarang pemanenan tanaman tertentu guna melestarikan habitat, kini digunakan secara individu untuk melindungi tanaman milik perseorangan, seperti kelapa, durian, kemiri, dan pinang, dari pencurian. Meskipun sasi laut sudah tidak diterapkan lagi di Sailolof, sisa-sisa praktik sasi darat tetap ada, tapi dalam bentuk baru. Interval waktu sasi masih sesuai dengan siklus pertumbuhan tanaman—misalnya, 1–2 bulan untuk kacang aresa dan kelapa, serta 2–3 bulan untuk durian—namun niat di baliknya sudah berubah sepenuhnya.
Perbedaan mendasar antara sasi lama dan baru terletak pada orientasi tujuannya. Sasi lama adalah tentang tanggung jawab kolektif terhadap sumber daya alam untuk kesejahteraan komunitas di masa depan. Sedangkan sasi baru adalah tentang privatisasi dan perlindungan aset pribadi. Ini adalah contoh konkret bagaimana simbolisme adat yang besar, yaitu “sasi”, dipaksa untuk berfungsi di luar konteks aslinya demi memenuhi kebutuhan modern individu. Studi ini menunjukkan bahwa transformasi ini didorong oleh faktor-faktor sosial seperti migrasi penduduk dan percampuran etnis, yang meningkatkan ketegangan sosial dan kebutuhan akan perlindungan aset. Motivasi ekonomi individu untuk melindungi hasil panennya juga menjadi salah satu pendorong utama. Di Kepulauan Kei, Maluku, terdapat praktik serupa yang dikenal sebagai hawear, yang digunakan untuk melindungi tanah, hasil hutan, dan bahkan infrastruktur seperti jalan umum dari pengrusakan atau perampasan. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan bangunan fisik, fungsinya sudah bergerak dari konservasi alam ke pengelolaan dan perlindungan aset fisik.
Pergeseran ini tidak hanya terjadi pada sumber daya alam, tetapi juga pada perilaku sosial. Di Pulau Buano, Maluku, sasi pernah diterapkan untuk melarang aktivitas merusak di hutan mangrove, tapi sempat terhenti akibat konflik antar desa. Sementara itu, di era modern, sasi diperluas maknanya untuk melarang perilaku sosial yang dianggap negatif, seperti fitnah atau pelecehan, sebagai bagian dari hukum adat Larwul Ngabal di Kepulauan Kei. Bahkan, selama pandemi Covid-19, sasi digunakan secara luas di Maluku Tengah untuk menutup akses ke bangunan publik seperti pasar dan sekolah, menunjukkan bahwa institusi adat tersebut masih memiliki legitimasi untuk melarang akses fisik terhadap properti. Meskipun tujuannya berbeda, langkah-langkah operasionalnya serupa: musyawarah adat, penetapan larangan, penandatanganan simbolis (janur), dan penegakan sanksi.
Penting untuk dicatat bahwa deskripsi “sasi gedung” dalam konteks query pengguna belum ditemukan di semua sumber referensi yang tersedia. Tidak ada dokumen yang menyebutkan praktik adat formal yang melarang pengambilan barang dari dalam sebuah bangunan atau menggunakan nama “sasi” untuk properti komersial seperti perkantoran, mal, atau apartemen. Praktik yang paling dekat dengan “perlindungan properti” adalah penerapan sasi di Kepulauan Kei untuk melindungi tanah, jalan, dan harta benda orang lain (It lavur hira ni afa). Jadi, transformasi yang terjadi bukanlah transisi dari sumber daya alam ke bangunan komersial, melainkan pergeseran dari pengelolaan sumber daya komunal ke perlindungan aset individual dan infrastruktur umum. Aktor utama dalam proses ini adalah masyarakat adat itu sendiri, yang menyesuaikan praktik mereka dengan tantangan sosial dan ekonomi baru. Namun, hal ini membawa implikasi penting: semakin banyak sasi digunakan untuk tujuan individu, semakin melemah kontrol kolektif terhadap sumber daya alam yang menjadi inti dari kearifan lokal ini.
Baca Juga: “Sasi: Tradisi Lokal untuk Menjaga Alam dan Kehidupan Sosial di Maluku”
Aktor Utama dan Dinamika Sosial dalam Revitalisasi dan Komersialisasi Sasi
Revitalisasi, transformasi, dan komersialisasi praktik sasi adalah hasil dari dinamika kompleks yang melibatkan berbagai aktor dari tingkat lokal hingga nasional. Aktor utama dapat dibagi menjadi empat kelompok besar: masyarakat adat dan lembaga adat, pemerintah daerah dan nasional, pengusaha swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta donor internasional. Interaksi dan kepentingan masing-masing aktor membentuk arah baru bagi institusi sasi.
Di tingkat lokal, masyarakat adat dan lembaga adat, seperti Lembaga Kewang, adalah aktor utama yang secara langsung menerapkan, menegakkan, dan bahkan memodernisasi sasi. Pemimpin adat seperti Raja Negeri dan Kepala Kewang memiliki otoritas tradisional untuk memutuskan penerapan sasi. Kekuasaan mereka tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga fisik; contohnya, Kewang di Haruku berhasil menolak aktivitas tambang PT. Aneka Tambang pada tahun 1998 dan penelitian geotermal pada 2007 karena melanggar larangan adat. Namun, lembaga adat juga rentan terhadap tekanan eksternal. Di Kepulauan Kei, pengusaha lokal memperoleh hak wilayah penangkapan ikan dengan memberi pinjaman kepada keluarga pemilik hak, lalu mengalihkan hak tersebut saat utang dilunasi, mengubah sasi menjadi komersial. Di tempat lain, seperti di Maur Ohoi’wut, Raja Johannes Rahail memperkuat sasi adat untuk melawan penangkapan ikan sianida, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat dapat mempertahankan integritas sasi. Di sisi lain, di desa-desa lain, sasi laut dijual kepada nelayan migran dari Sulawesi dan Madura, menunjukkan adaptasi yang lebih pragmatis terhadap ekonomi pasar.
Pemerintah daerah dan nasional memiliki peran ganda. Di satu sisi, pemerintah diakui sebagai salah satu otoritas yang dapat menerapkan sasi, baik melalui pemerintah desa maupun lembaga adat yang diakui. Ada usaha untuk memberikan pengakuan hukum formal, seperti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 yang meneguhkan Negara sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, dan Perda Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Urusan. Undang-undang nasional seperti UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga mewajibkan pertimbangan hukum adat. Di sisi lain, pemerintah juga bisa menjadi sumber ancaman. Tekanan dari pejabat daerah dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, seperti Keputusan Menteri Kehutanan No.7/1999 yang melarang perdagangan biota lola hasil sasi, dapat melemahkan sistem sasi. Kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan regulasi adat sering kali menyebabkan konflik dan memperlemah praktik sasi.
Pengusaha swasta dan pasar komersial adalah kekuatan dominan yang mendorong komersialisasi sasi. Sejak 1960-an, munculnya pasar eksternal untuk sumber daya laut bernilai tinggi seperti trocus, lobster duri, dan teripang telah mengubah paradigma pengelolaan sasi. Tekanan ekonomi menyebabkan periode sasi yang tadinya 3-5 tahun diperpendek menjadi tahunan, mengancam keberlanjutan sumber daya. Di Aru dan Kei, pengusaha memperoleh hak sasi dengan imbalan pinjaman, yang pada gilirannya mengubah sasi dari akses komunal menjadi komersialisasi. Di Watmuri, Kepulauan Tanimbar, hasil lelang pala dari empat kawasan hutan mencapai Rp38.500.000, yang dialokasikan untuk kas desa, proyek pembangunan desa, dan masjid. Di pulau Saparua, lelang hak panen terhadap spesies komersial seperti top shell dan teripang menjadi insentif penting untuk mempertahankan sasi. Dalam kasus di Dullah Laut, kontrak antara desa dan pengusaha ikan hidup melibatkan “bukman” (denda adat) yang sebagian besar dikorupsi oleh pejabat desa dan militer, menunjukkan bagaimana motif finansial individu dapat memperdayai sistem adat.
Terakhir, LSM dan donor internasional memainkan peran penting dalam revitalisasi sasi. Sejak akhir 1980-an, LSM lingkungan seperti WWF dan Blue Ventures, serta donor seperti DANIDA dan USAID, telah berperan dalam mempromosikan sasi sebagai model sukses pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat. Mereka mensponsori penelitian, pelatihan, dan program co-management, serta menciptakan label “Sasi Label” untuk memberikan nilai tambah pada produk perikanan komunitas. Upaya ini telah membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan pendapatan nelayan di Kepulauan Kei dan pembentukan ribuan lapangan kerja. Namun, kritikus menilai bahwa promosi ini terkadang bersifat instrumentalisasi, di mana sasi diposisikan sebagai alat untuk konservasi global daripada sebagai praktik adat yang hidup secara organik. Dalam beberapa kasus, masyarakat penerima manfaat sebelumnya tidak familiar dengan konsep sasi, menunjukkan bahwa revitalisasi ini mungkin merupakan rekayasa ulang tradisi daripada restorasi alami. Interaksi dinamis antara keempat kelompok aktor ini menjelaskan bagaimana sasi, meskipun tetap diakui sebagai warisan budaya, terus berubah dan menyesuaikan diri dengan dunia modern, baik untuk kebaikan maupun keburukannya.
Dominasi Motif Finansial: Bagaimana Eksploitasi Komersial Menghancurkan Inti Sasi
Dominasi motif finansial adalah salah satu ancaman terbesar terhadap keberlangsungan dan integritas sasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Fenomena ini bukanlah klaim spekulatif, melainan sebuah realitas empiris yang tercatat dalam banyak studi dan laporan, terutama sejak 1960-an ketika pasar komersial global mulai berinteraksi erat dengan masyarakat adat di Maluku. Transformasi ini menyebabkan pergeseran mendasar dari nilai-nilai adat dan keseimbangan ekologis menuju eksploitasi ekonomi semata-mata, yang seringkali merugikan komunitas lokal sendiri.
Salah satu contoh paling jelas adalah dampak pasar ekspor terhadap sumber daya laut komersial. Sejarah mencatat lonjakan ekspor trocus dari Maluku dari 80.000 kg pada tahun 1987 menjadi 256.000 kg pada tahun 1988, dengan harga mencapai Rp16.750 per kg pada 1991. Lonjakan permintaan ini menimbulkan tekanan besar dari pemerintah daerah dan para pengusaha swasta yang merebut hak pengelolaan sasi dari masyarakat adat. Akibatnya, siklus panen yang sehat, yang biasanya berlangsung setiap 3-5 tahun, dipaksa menjadi tahunan. Dampaknya nyata: produksi trocus di Pulau Saparua turun drastis dari 3.000–4.000 kg per panen menjadi hanya 800 kg. Hal serupa terjadi pada sumber daya lainnya. Di Kepulauan Tanimbar, penurunan produksi teripang dari rata-rata 1,0 ton/tahun (1968–1980) menjadi 0,5 ton/tahun (1981–1993) juga disebabkan oleh tekanan pasar. Di Desa Wadumaddi, Sabu Raijua, meskipun praktik Liku Keruga untuk mengambil terumbu karang memiliki nilai sosial-budaya, potensi konflik dengan UU Lingkungan Hidup yang melarang pengambilan terumbu karang menjadi nyata karena adanya kepentingan ekonomi.
Motif finansial tidak hanya menyerang sumber daya laut, tetapi juga sumber daya darat. Di Desa Haruku, sasi pala menjadi instrumen untuk penggalangan dana komunitas. Hasil lelang pala dari empat kawasan hutan mencapai Rp38.500.000, yang sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan desa dan proyek-proyek sosial. Di Watmuri, Nusa Tenggara Timur, terdapat praktik “sasi pelabuhan” di mana pemenang lelang mendapatkan hak eksploitasi penuh atas sumber daya di kawasan sasi, dan hasil lelang digunakan untuk pembangunan desa. Meskipun tujuan sosial positifnya jelas, cara-cara ini mengkomersialkan sumber daya alam dan memposisikannya sebagai komoditas dagang, bukan sebagai sumber kehidupan yang harus dilestarikan. Lebih lanjut, sistem lelang ini seringkali dieksploitasi oleh oknum-oknum tertentu. Di Dullah Laut, Kepulauan Kei, denda adat (bukman) sebesar Rp6 juta dari kasus penangkapan ikan ilegal oleh nelayan migran pada 1996 sebagian besar dikorupsi oleh pejabat desa dan militer, menunjukkan bagaimana motif finansial individu bisa merusak kepercayaan dan melemahkan sistem adat secara keseluruhan.
Hubungan antara pengusaha dan desa juga merupakan cerminan nyata dari dominasi motif finansial. Di Kepulauan Kei, pengusaha dari luar daerah memperoleh hak sasi laut dengan memberi pinjaman kepada pemilik hak adat, yang kemudian dijaminkan atas nama wilayah laut tersebut. Setelah utang lunas, hak tersebut dialihkan, sehingga pengusaha mendapatkan kontrol atas wilayah kelola tradisional tersebut. Ini adalah bentuk kapitalisasi atas simbolisme adat, di mana sasi digunakan sebagai jaminan pinjaman, bukan sebagai aturan untuk konservasi. Situasi serupa terjadi di pulau Saparua, di mana pemerintah desa mulai memperketat regulasi tertulis sejak 1990 untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi nelayan lokal demi melindungi hak perusahaan perdagangan eksternal. Dalam skala yang lebih besar, perusahaan-perusahaan besar seperti PT Mina Sinega dan PT Surya Sulawesi di Kepulauan Kei beroperasi dengan dukungan militer, menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem terumbu karang dan memperburuk konflik sosial.
Secara keseluruhan, motif finansial telah membawa dampak negatif yang signifikan. Ia telah melemahkan efek deterrent sanksi adat yang semula berupa pengasingan menjadi denda uang, yang dianggap kurang menakutkan. Ia juga telah memperburuk konflik sosial antara nelayan lokal dan nelayan migran, serta antara komunitas adat dan perusahaan besar. Lebih dari itu, ia telah mengubah paradigma pengelolaan sumber daya dari holistik (ekologis, sosial, spiritual) menjadi parsial (ekonomi semata). Sasi yang awalnya adalah manifestasi dari etika ekologis masyarakat pesisir kini seringkali hanya dipandang sebagai alat untuk memperoleh keuntungan finansial, terlepas dari risiko jangka panjang terhadap keberlanjutan sumber daya dan kohesi sosial. Meskipun ada upaya untuk menyalurkan manfaat finansial untuk kepentingan komunitas, seperti melalui lelang pala di Seith atau program Sasi Label, dominasi motif finansial di luar kontrol masyarakat adat tetap merupakan ancaman utama bagi esensi sasi.
Validitas Hukum dan Legalitas Sasi: Antara Adat, Peraturan Desa, dan Konflik Kepentingan
Validitas hukum dan legalitas sasi berada dalam posisi yang unik dan seringkali ambigu, berada pada persimpangan antara hukum adat, peraturan desa, dan peraturan perundang-undangan nasional. Sistem sasi, sebagai warisan hukum adat, memiliki landasan yang kuat di tingkat konstitusional dan nasional, namun implementasinya sering kali bertabrakan dengan kepentingan ekonomi dan regulasi formal yang berbeda. Landasan hukum nasional yang mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak ulayat mereka memberikan pengakuan eksplisit terhadap sistem pengelolaan mereka, termasuk sasi. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengakui hak masyarakat adat atas pengaturan otonominya dalam urusan pemerintahan, pembinaan nasional, dan pengelolaan kepentingan mereka sendiri berdasarkan adat istiadat. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga menjamin hak hidup, kehormatan, martabat, dan kepentingan jiwa raga manusia adat. Selain itu, banyak undang-undang sektoral, seperti UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 45/2009 tentang Perikanan, secara tekstual atau substansial mewajibkan pertimbangan terhadap hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Di tingkat provinsi, pengakuan formal terhadap sasi juga ada. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Peneguhan Negara sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat telah memberikan pengakuan hukum yang kuat terhadap institusi negeri adat dan praktik sasi di wilayahnya. Di tingkat kabupaten, Perda Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Urusan telah menetapkan batas wilayah petuanan berbasis hukum adat, yang merupakan basis territorial bagi penerapan sasi. Lebih jauh, pengakuan hukum adat dalam bentuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) telah diberikan oleh pemerintah daerah kepada dua MHA di Maluku, yaitu MHA Ohoirenan di Maluku Tenggara dan MHA Kilitai-Kiliharu di Seram Bagian Timur, meskipun status formalnya masih dalam proses. Pengakuan-pengakuan ini memberikan landasan hukum yang solid bagi lembaga adat untuk menegakkan sasi sesuai dengan aturan dan nilai adat mereka.
Namun, kekuatan legalitas ini seringkali runtuh di hadapan praktik nyata dan konflik kepentingan. Pertama, ada konflik antara hukum adat dan peraturan pemerintah pusat. Contohnya, Keputusan Menteri Kehutanan No.7/1999 yang melarang perdagangan biota lola hasil sasi telah menyulitkan nelayan adat di beberapa daerah, karena aturan tersebut tidak sejalan dengan praktik adat yang membolehkan lelang atau penjualan hasil sasi. Kedua, ada konflik antara hak adat dan hak formal seperti sertifikat hak milik (SHM). Meskipun Pasal 18B UUD 1945 melindungi hak ulayat, dalam praktiknya, SHM yang diterbitkan oleh pemerintah memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi. Putusan pengadilan di Ambon (No. 316/Pdt.G/2023/PN.Amb) menegaskan bahwa penerbitan SHM di atas tanah ulayat tanpa pelepasan hak adat oleh pihak yang berwenang merupakan tindakan ilegal, menunjukkan bahwa pengadilan akan membelanya. Namun, tanah adat yang tidak terdaftar tetap rentan terhadap klaim formal. Hak ulayat, yang diatur dalam PP No. 18 Tahun 2021, seharusnya menjadi landasan yang kuat, tetapi reformasi sistem pertanahan yang menyelaraskan hukum adat dan hukum formal masih diperlukan.
Ketiga, ada konflik internal dalam struktur hukum desa sendiri. Di beberapa desa, pemerintah desa atau lembaga adat yang dipimpin oleh pemimpin adat (seperti raja) memiliki otoritas untuk menerapkan sasi. Namun, dalam praktiknya, penerapan sasi bisa menjadi alat politik atau komersial. Di Dullah Laut, kontrak antara desa dan pengusaha ikan hidup untuk memperoleh dana pembangunan melalui denda adat (bukman), menunjukkan bahwa sasi digunakan sebagai instrumen perjanjian bisnis, bukan sekadar aturan adat. Di Watmuri, desa mulai memperketat regulasi tertulis untuk melindungi sumber daya dari nelayan lokal demi kepentingan perusahaan eksternal, menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi desa (melalui pajak atau iuran) bisa saja menang atas kepentingan komunitas adat. Keberadaan lembaga adat seperti Kewang tetap menjadi tulang punggung penegakan hukum adat, namun kekuasaan mereka bisa dipengaruhi oleh tekanan politik dan ekonomi dari luar.
Dalam konteks “sasi gedung”, tidak ditemukan adanya landasan hukum adat formal yang menyebutkan penggunaan istilah sasi untuk bangunan fisik. Sumber-sumber hanya menyebutkan penerapan sasi untuk melindungi tanah, jalan, dan harta benda orang lain. Oleh karena itu, segala bentuk penerapan sasi pada properti komersial seperti mall atau perkantoran adalah bentuk interpretasi baru dari masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan modern, bukan warisan adat formal. Legalitasnya akan sangat bergantung pada kesepakatan komunitas setempat dan legitimasi sosial, bukan pada peraturan adat resmi. Dengan demikian, validitas hukum sasi berada dalam situasi dualistik: di satu sisi, didukung oleh landasan konstitusional dan peraturan daerah, tetapi di sisi lain, rapuh dan seringkali tunduk pada tekanan-tekanan dari sistem hukum formal yang lebih kuat dan kepentingan ekonomi yang berbeda.
Implikasi Strategis: Menavigasi Ancaman dan Mempertahankan Integritas Sasi di Era Modern
Menavigasi masa depan sasi di tengah arus modernitas yang dinamis membutuhkan strategi yang komprehensif, seimbang, dan berpihak pada masyarakat adat itu sendiri. Ancaman terhadap sasi begitu besar dan multidimensional, meliputi komersialisasi, urbanisasi, perubahan nilai tradisional, dan hilangnya pengetahuan adat, yang semuanya diperparah oleh pergeseran dari konservasi alam ke perlindungan aset individu. Untuk mempertahankan integritas sasi sebagai warisan kearifan lokal yang berharga, perlu dilakukan serangkaian langkah strategis di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Langkah pertama adalah memperkuat legitimasi dan kekuatan hukum adat melalui harmonisasi sistem hukum. Meskipun landasan konstitusional sudah ada, perlu ada upaya konkret untuk menyelaraskan hukum formal nasional dengan hukum adat. Reformasi sistem pertanahan, seperti yang diamanatkan dalam PP No. 18 Tahun 2021, harus didorong agar hak ulayat masyarakat adat diberi kepastian hukum yang kuat dan diakui sejajar dengan hak formal seperti SHM. Pemerintah daerah perlu terlibat aktif dalam proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan penegasan batas wilayah adat, seperti yang dilakukan di Maluku. Penting juga untuk memastikan bahwa regulasi nasional, seperti UU Perikanan, tidak bertentangan dengan praktik adat, melainkan memberikan ruang bagi partisipasi dan pengakuan terhadap sistem pengelolaan berbasis komunitas seperti sasi.
Kedua, strategi perlu difokuskan pada pelestarian pengetahuan dan pengarusutamaan sasi dalam pendidikan dan pengambilan keputusan. Studi menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sasi berkurang di kalangan generasi muda. Program dokumentasi nilai-nilai sasi dan integrasi materi adat ke dalam kurikulum sekolah adalah langkah penting untuk mentransfer pengetahuan secara sistematis. Peningkatan kapasitas lembaga adat melalui pelatihan manajemen sumber daya, akuntansi mental, dan pengelolaan keuangan (sebagaimana disarankan oleh studi di Maluku) juga sangat penting. Dengan pengetahuan dan kapasitas yang lebih baik, lembaga adat akan lebih mampu berdialog dengan pemerintah dan investor, serta melindungi diri dari eksploitasi.
Ketiga, pengembangan model-model alternatif yang memberdayakan masyarakat adat secara ekonomi tanpa merusak esensi sasi. Inisiatif seperti “Sasi Label” oleh CFI Indonesia adalah langkah positif, meskipun dengan catatan bahwa pasar saat ini mungkin belum siap memberikan harga premium. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa model-model ini memberikan manfaat langsung dan adil kepada komunitas adat. Contoh sukses di Desa Haruku, di mana hasil lelang pala digunakan untuk proyek-proyek desa yang bermanfaat, menunjukkan bahwa ekonomi dan konservasi bisa berjalan bersama. Namun, perlu diawasi agar tidak terjadi korupsi internal seperti yang terjadi di Dullah Laut. Pendekatan Co-Management, di mana masyarakat adat bermitra dengan pemerintah atau LSM dalam pengelolaan sumber daya, juga harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menjadikan masyarakat adat sebagai objek, melainkan mitra yang setara.
Keempat, mendorong partisipasi aktif masyarakat adat dalam forum-forum pengambilan kebijakan nasional dan internasional. Keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan regional dan nasional, serta advokasi di tingkat internasional, dapat membantu memastikan bahwa kepentingan mereka didengar dan dihargai. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang memiliki anggota dari lembaga adat seperti Kewang Haruku, adalah contoh organisasi penting yang dapat memfasilitasi hal ini.
Dalam konteks transformasi sasi ke perlindungan aset, strategi yang tepat adalah melakukan refleksi mendalam di masyarakat adat itu sendiri. Dialog tentang apakah perlu memperluas sasi untuk melindungi aset fisik atau apakah hal itu akan melemahkan esensi konservasinya adalah sangat penting. Solusinya mungkin bukan dalam bentuk peraturan adat baru, melainkan dalam penegakan ulang prinsip-prinsip adat yang sudah ada, seperti menjaga kebersihan lingkungan, saling tolong-menolong, dan keadilan sosial, yang bisa diterapkan pada aset fisik tanpa harus menggunakan istilah “sasi”. Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan seperti itu, sasi tidak hanya akan bertahan, tetapi juga dapat terus berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial di Maluku dan Papua.
REFERENSI
- Impact of knowledge management, knowledge sharing, and mental accounting on farmer performance in Sasi culture in Maluku Islands, Indonesia || https://www.researchgate.net/publication/388887081_Impact_of_knowledge_management_knowledge_sharing_and_mental_accounting_on_farmer_performance_in_Sasi_culture_in_Maluku_Islands_Indonesia
- Presence, Performance, and Institutional Resilience of Sasi, a Traditional Management Institution in Central Maluku, Indonesia || https://www.researchgate.net/publication/245123763_Presence_Performance_and_Institutional_Resilience_of_Sasi_a_Traditional_Management_Institution_in_Central_Maluku_Indonesia
- Strengthening Community-Based Fisheries Governance in Indonesia’s Coastal Areas || https://www.bio-conferences.org/articles/bioconf/pdf/2025/36/bioconf_symarfish2025_06001.pdf
- Analysis of institutional development strategy for Sasi on Ambon Island, Indonesia || https://bioflux.com.ro/docs/2019.1134-1141.pdf
- An Institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia || https://www.academia.edu/38086943/An_Institutional_Analysis_of_Sasi_Laut_in_Maluku_Indonesia
- Engaging customary law to improve the effectiveness of marine protected areas in Indonesia || https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0964569125000055
- The Sustainability Of The Sasi Lola Tradition And Customary Law (Case Study In Masawoy Maluku, Indonesia) || https://www.ijstr.org/final-print/feb2020/The-Sustainability-Of-The-Sasi-Lola-Tradition-And-Customary-Law-case-Study-In-Masawoy-Maluku-Indonesia.pdf
- Envisioning self-reliance through the ethics of maritime ecological and sociology || https://iwlearn.net/news/envisioning-self-reliance-through-the-ethics-of-maritime-ecological-and-sociology
- Presence, performance, and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia || https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0964569102000571
- SASI ROLE OF TRADITION IN THE MANAGEMENT AND CONSERVATION OF NATURAL RESOURCES AS A SOURCE OF HUMAN LIFE || https://www.researchgate.net/publication/332029562_SASI_ROLE_OF_TRADITION_IN_THE_MANAGEMENT_AND_CONSERVATION_OF_NATURAL_RESOURCES_AS_A_SOURCE_OF_HUMAN_LIFE
- Sasi Laut as a Culture of Natural Resources Conservation to Overcome the Tragedy of the Commons in Maluku Province || https://pdfs.semanticscholar.org/a868/28f600cbf85e9ff6d850997e67d5fddfc345.pdf
- Culture and Religion in Sasi Tradition || https://www.researchgate.net/publication/339133957_Culture_and_Religion_in_Sasi_Tradition
- Revitalising ‘sasi’ – relying on indigenous laws and traditions to protect the ocean in Maluku – Indonesia || https://blog.blueventures.org/en/revitalising-sasi-relying-on-indigenous-laws-and-traditions-to-protect-the-ocean-in-maluku-indonesia/
- THE LOCAL LAW INSTRUMENT BASED ON LOCAL WISDOM IN MALUKU, “SASI LOMPA”: LAWS AND ECONOMIC IMPROVEMENT || https://media.neliti.com/media/publications/336744-the-local-law-instrument-based-on-local-2f71d8b4.pdf
- Legal power of “Dati” land ownership rights related to land ownership certificates (Based on justice theory perspective) || https://www.lawjournals.net/assets/archives/2025/vol7issue2/7046.pdf
- Marine conservation beyond MPAs: Towards the recognition of other effective area-based conservation measures (OECMs) in Indonesia || https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308597X21005509
- Customary environmental law and its transformation models in Indonesia || https://www.researchgate.net/publication/392519846_Customary_environmental_law_and_its_transformation_models_in_Indonesia
- SASI, A TRADITIONAL NATURAL RESOURCE CONSERVATION AND MANAGEMENT SYSTEM || https://d3o3cb4w253x5q.cloudfront.net/media/documents/ILC_Case_Study_0145__Indonesia_EN.pdf
- SASI AND ITS RELATION TO THE ECONOMIC DEVELOPMENT AND MARINE PRESERVATION (CASE STUDY: RAJA AMPAT) || https://birdsheadseascape.com/wpfb-file/adiastuti-et-al-2019-sasi-raja-ampat-pdf/
- Transforming traditional management into contemporary territorial-based fisheries management rights for small-scale fisheries in Indonesia || https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0308597X19309297
- The Local Wisdom of the Sasi Culture and Green Accounting || https://jurnal.ibik.ac.id/index.php/jimkes/article/download/2949/2210/10579
- Community-Based Fisheries Management Insitutions in Indonesia || https://www.marecentre.nl/mast/documents/communitybasedfisheriesmanagementinstitutioninIndonesia.pdf
- Sasi Laut as a Culture of Natural Resources Conservation to Overcome the Tragedy of the Commons in Maluku Province || https://www.researchgate.net/publication/372957390_Sasi_Laut_as_a_Culture_of_Natural_Resources_Conservation_to_Overcome_the_Tragedy_of_the_Commons_in_Maluku_Province
- SASI ROLE OF TRADITION IN THE MANAGEMENT AND CONSERVATION OF NATURAL RESOURCES AS A SOURCE OF HUMAN LIFE || https://www.ijern.com/journal/2016/June-2016/28.pdf
- Sasi Pala as a Form of Social Ecology: A Sociological Perspective on Resource Conservation and Community Resilience || https://itscience-indexing.com/jurnal/index.php/educendikia/article/download/5683/4301
- Implementation of Sasi which impact on the sustainability of ecosystem services in Maluku || https://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf/pdf/2024/25/e3sconf_icyes2024_01005.pdf
- Through a Green Lens: The Construction of Customary Environmental Law and Community in Indonesia’s Maluku Islands || https://www.jstor.org/stable/3054024
- Indigenous Knowledge and Customary Law in Natural Resource Management: Experiences in Yunnan, China and Haruku, Indonesia || https://iwgia.org/images/publications/0666_Indigenous_Knoledge_and_Customary_La_in_Natural_Resource_Management.pdf
- Through a Green Lens: The Construction of Customary Environmental Law and Community in Indonesia’s Maluku Islands || https://www.academia.edu/90701219/Through_a_Green_Lens_The_Construction_of_Customary_Environmental_Law_and_Community_in_Indonesias_Maluku_Islands
- Harmonization of Customary Law and Environmental Regulations Study of Customary Rights in the Liku Keruga Tradition in Sabu Raijua Regency || https://www.researchgate.net/publication/396688866_Harmonization_of_Customary_Law_and_Environmental_Regulations_Study_of_Customary_Rights_in_the_Liku_Keruga_Tradition_in_Sabu_Raijua_Regency
- Government Responsibility for the Practice of Marine Sasi Management in Maluku for Sustainable Marine Resources Sustainability || https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/viewFile/4613/3956
- Merevitalisasi ‘sasi’ – mengandalkan hukum dan tradisi adat untuk melindungi laut di Maluku – Indonesia || https://blueventures.org/id/revitalising-sasi-relying-on-indigenous-laws-and-traditions-to-protect-the-ocean-in-maluku-indonesia/
- Implementation of The Values Sasi Customary Law in the Formation of Regional Regulations on Environmental Sector || https://www.atlantis-press.com/article/125920824.pdf
- HAWEARADAT LAW ENFORCEMENT (SASI LAW) IN SOUTHEAST MALUKU KEI SOCIETY || https://www.abacademies.org/articles/hawearadat-law-enforcement-sasi-law-in-southeast-maluku-kei-society.pdf
- Through a Green Lens: The Construction of Customary Environmental Law and Community in Indonesia’s Maluku Islands || https://www.cambridge.org/core/journals/law-and-society-review/article/abs/through-a-green-lens-the-construction-of-customary-environmental-law-and-community-in-indonesias-maluku-islands/0030BE76671CA040D6C8C0AB613FA843
- EXTERNAL FORCES AND CHANGE IN TRADITIONAL COMMUNITY-BASED FISHERY MANAGEMENT SYSTEMS IN THE ASIA-PACIFIC REGION || https://www.marecentre.nl/mast/documents/artikel1_001.pdf
- The House that Poison Built: Customary Marine Property Rights and the Live Food Fish Trade in the Kei Islands, Southeast Maluku || https://www.researchgate.net/publication/229806190_The_House_that_Poison_Built_Customary_Marine_Property_Rights_and_the_Live_Food_Fish_Trade_in_the_Kei_Islands_Southeast_Maluku
- The Recognition of Customary Rights by Indonesian Constitutional Court || http://repository.lppm.unila.ac.id/34485/1/The%20Recognition%20Of%20Customary%20Rights%20by%20Indonesian%20Constitutional%20Court.pdf
- Local Institutions Performance in Mangrove Forest Management on Small Islands: Case Study in Buano Island, Maluku Province, Indonesia || https://www.researchgate.net/publication/379103608_Local_Institutions_Performance_in_Mangrove_Forest_Management_on_Small_Islands_Case_Study_in_Buano_Island_Maluku_Province_Indonesia
- Midterm Review of WWF GEF Project in Eastern Indonesia || https://files.worldwildlife.org/wwfcmsprod/files/Publication/file/1ghrmeygrs_PNCI_MTR_Final_Report_V6.pdf
- THE ROLE OF SASI AS LOCAL WISDOM IN PREVENTING COVID-19 TRANSMISSION IN LEIHITU DISTRICT, CENTRAL MALUKU REGENCY || https://www.abacademies.org/articles/the-role-of-sasi-as-local-wisdom-in-preventing-covid19-transmission-in-leihitu-district-central-maluku-regency.pdf