Pendekatan Ideal untuk Pengembangan Food Estate di Indonesia: Mencapai Keseimbangan Ketahanan Pangan, Konservasi Lingkungan, dan Hak Masyarakat

Share:

Pengembangan Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) di Indonesia merupakan sebuah konsep strategis yang telah diusulkan sejak era Orde Baru hingga pemerintahan saat ini. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa berbagai proyek serupa hampir selalu berujung pada kegagalan, ditandai oleh kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan tidak tercapainya target produksi. Proyek terbaru di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua menuai kritik serupa karena pendekatannya yang cenderung top-down, minim partisipasi masyarakat, dan pengabaian terhadap nilai-nilai keberlanjutan ekologis serta hak asasi manusia.

Untuk mengubah narasi kegagalan menjadi keberhasilan, diperlukan pendekatan yang fundamental dan mendasar—sebuah kerangka ideal yang secara komprehensif menyelaraskan ketiga pilar utama: ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan pengakuan hak-hak masyarakat lokal. Pendekatan ini harus didasarkan pada pembelajaran dari kesalahan masa lalu, penolakan terhadap pendekatan teknokratis semata, dan pengakuan bahwa keberhasilan suatu program pertanian bukan hanya diukur dari tonase gabah, tetapi juga dari kesejahteraan sosial, integritas ekosistem, dan perlindungan martabat rakyat.

Landasan Moral dan Konseptual: Mengedepankan Keberlanjutan yang Kuat (Strong Sustainability)

Pendekatan ideal bagi pengembangan food estate di Indonesia haruslah bersandar pada paradigma keberlanjutan yang kuat (strong sustainability), sebuah konsep yang melampaui batasan ekonomi tradisional dan memberikan prioritas tertinggi pada pelestarian modal alam. Menurut teori strong sustainability, yang dikembangkan oleh ekonomi lingkungan seperti Daly dan Neumayer, modal alam — termasuk lahan gambut, hutan, dan biodiversitas — memiliki sifat non-substitusi dan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh modal buatan (modal fisik, uang, atau teknologi). Dalam konteks food estate, ini berarti bahwa ekosistem penting seperti lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter atau hutan primer tidak boleh dialihfungsikan, karena hilangnya fungsi tersebut adalah permanen dan akan memperparah krisis iklim serta merusak jaringan hidrologi regional. Pelaksanaan food estate di atas lahan-lahan sensitif seperti itu bukan hanya sebuah pelanggaran etika lingkungan, tetapi juga merupakan praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan secara moral, karena mengeksploitasi sumber daya untuk generasi saat ini tanpa mempertimbangkan dampak negatif jangka panjang terhadap generasi mendatang, sebuah prinsip yang sesuai dengan teori usufruct.

Prinsip strong sustainability menuntut adanya “no-go zones” yang tegas dalam perencanaan food estate. Analisis oleh WRI Indonesia menunjukkan bahwa luasan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang seharusnya dilindungi sangat besar, mencapai 1.091.973,67 hektar (74% dari total areal eks-PLG), karena berfungsi sebagai lindung, menyimpan karbon dalam jumlah masif, dan mendukung kehidupan masyarakat lokal. Penetapan zona-zona larangan ini harus menjadi dasar dari semua rencana lokasi, bukan setelah proyek dimulai. Peraturan Menteri LHK No. 24/2020 yang memungkinkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung untuk food estate justru bertentangan dengan spirit PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara tegas melindungi fungsi lindung ekosistem tersebut. Dengan demikian, pendekatan ideal harus menolak landasan hukum dan kebijakan yang melemahkan perlindungan terhadap modal alam.

Di balik aspek lingkungan, konsep strong sustainability juga membawa implikasi keadilan distributif. Jika modal alam adalah faktor pembatas mutlak, maka akses dan manfaat dari pengelolaan sumber daya tersebut harus didistribusikan secara adil. Ini berarti bahwa masyarakat lokal yang bergantung pada hutan dan lahan gambut untuk mata pencaharian mereka, yang menurut data mencakup 77 jenis mata pencarian, tidak boleh dirugikan oleh proyek-proyek skala besar. Mereka harus menjadi bagian dari solusi, bukan objek pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan ideal tidak hanya tentang melarang ekstensifikasi ke dalam kawasan lindung, tetapi juga tentang mengembangkan model-model produksi di luar kawasan-kawasan sensitif tersebut yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan lestari secara lingkungan. Inisiatif seperti restorasi 3,44 juta hektar lahan gambut di Indonesia menunjukkan bahwa ada kesadaran akan pentingnya menjaga modal alam; namun, hal ini harus diterjemahkan ke dalam praktik nyata di lapangan melalui penghentian proyek-proyek yang berpotensi merusak. Dengan mendasarkan diri pada strong sustainability, pendekatan ideal menegaskan bahwa tujuan ketahanan pangan tidak bisa dicapai dengan mengorbankan keberlanjutan ekosistem dan hak-hak masyarakat, karena keduanya adalah syarat mutlak bagi kelangsungan hidup dan kemakmuran jangka panjang.

Integrasi Sosial-Budaya: Mendaulatkan Pengetahuan Lokal dan Partisipasi Komunitas

Jika strong sustainability menempatkan landasan moral dan lingkungan, maka integrasi sosial-budaya adalah fondasi operasional yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan sebuah proyek food estate. Banyak proyek sebelumnya gagal karena pendekatan top-down dan teknokratis yang mengabaikan konteks sosial, budaya, dan pengetahuan lokal. Studi kasus Desa Bahaur Tengah di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, adalah contoh konkret: program menerapkan sistem tanam tabur Oktober-Maret tanpa melibatkan petani setempat, padahal pola banjir di desa tersebut terjadi Agustus-Desember. Akibatnya, gagal panen terjadi berulang kali, menunjukkan bahwa perencanaan yang tidak memahami ritme alam dan pengalaman hidup masyarakat setempat adalah langkah awal menuju kegagalan. Pendekatan ideal, sebaliknya, harus berpusat pada masyarakat (People Centred Development), di mana pengetahuan lokal tidak lagi dipandang sebagai informasi sekunder, tetapi sebagai inti dari proses perencanaan dan pelaksanaan.

Implementasi People Centred Development memerlukan mekanisme partisipasi yang substansial dan berjenjang. Pertama, proses pemetaan partisipatif harus dilakukan sejak awal, melibatkan masyarakat untuk menentukan potensi, kendala, dan harapan mereka terhadap suatu wilayah. Kedua, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus diterapkan secara serius, bukan hanya sebagai formalitas administratif. FPIC menuntut bahwa masyarakat harus diberi informasi lengkap dan akurat tentang proyek, termasuk risiko dan manfaatnya, sebelum memberikan persetujuan mereka, dan mereka harus memiliki kekuatan veto untuk menolak jika dianggap merugikan. Di Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, upaya untuk menolak food estate melalui jalur hukum menunjukkan betapa pentingnya perspektif masyarakat yang dirugikan. Ketiga, pengetahuan lokal harus diakui dan diintegrasikan ke dalam sistem pertanian. Misalnya, praktik berladang masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah atau sistem irigasi tradisional di daerah lain adalah hasil dari akumulasi pengetahuan bertahun-tahun yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Program modernisasi harus melengkapi, bukan menggantikan, pengetahuan lokal ini.

Selain itu, pendekatan ideal harus memprioritaskan pemberdayaan masyarakat sebagai pengelola utama lahan, bukan hanya sebagai tenaga kerja murah. Aliansi Petani Indonesia (API) menawarkan model alternatif berbasis komunitas yang mencakai empat pilar utama: desentralisasi tata kelola ke tingkat desa, revitalisasi lembaga pangan lokal seperti lumbung desa, pengembangan cadangan pangan komunitas minimal 3 bulan, dan peningkatan peran perempuan dan pemuda. Model ini membangun otonomi petani dari hulu hingga hilir, mulai dari penangkaran benih lokal hingga distribusi pasar, sehingga meningkatkan ketahanan pangan yang sejati. Keterlibatan masyarakat juga harus inklusif terhadap gender. Laporan Koalisi Hak atas Pangan dan Gizi menemukan bahwa perempuan, sebagai produsen utama pangan, justru terpinggirkan dari pengambilan keputusan dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam tradisional akibat perubahan lahan. Oleh karena itu, pendekatan ideal harus menerapkan mekanisme partisipasi yang setara (PADIATAPA–Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan) untuk memastikan suara perempuan didengar dan dihargai. Dengan mendaulatkan pengetahuan lokal dan memperkuat kelembagaan komunitas, food estate tidak lagi menjadi proyek pemerintah yang diterima atau ditolak oleh masyarakat, melainkan sebuah gerakan bersama yang dibangun dari bawah, dipimpin oleh mereka yang paling berkepentingan.

Rekonstruksi Teknologi dan Model Bisnis: Menuju Agroekologi Berkelanjutan

Pada sisi teknis, pendekatan ideal untuk food estate harus merekonstruksi model pertanian yang selama ini dijalankan, yaitu dari monokultur intensif di lahan gambut ke agroekologi berkelanjutan. Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan intensifikasi lahan gambut dengan cara membuka kanal drainase dan membakar lahan adalah metode yang merusak, menyebabkan pengeringan lahan, subsidence (penurunan permukaan tanah), kebakaran massal, dan pelepasan karbon dalam jumlah besar. Produktivitas padi di lahan gambut bahkan rendah, berkisar antara 1,5–3,2 ton per hektar, jauh di bawah produktivitas nasional rata-rata 5,1 ton per hektar. Lebih buruk lagi, indeks keberlanjutan untuk pertanian padi di lahan gambut terdegradasi dinilai tidak berkelanjutan dalam dimensi ekologi dan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan ideal tidak hanya menolak penggunaan lahan gambut, tetapi juga menawarkan alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Solusi yang direkomendasikan adalah transisi dari konvensional ke model-model agroekologi, terutama paludikultur (paludiculture). Paludikultur adalah praktik budidaya lahan basah atau rawa yang menjaga tinggi muka air tanah di atas permukaan tanah, sehingga menghindari pengeringan lahan dan pembakaran. Metode ini tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga menciptakan ekosistem baru yang produktif. Spesies unggulan untuk paludikultur di Indonesia meliputi sagu (Metroxylon sago), Eleocharis dulcis (bengkuang air), Stenochlaena palustris (bayam hutan), dan Aquilaria beccariana (gaharu). Sagu, misalnya, adalah komoditas pangan strategis bagi masyarakat di timur Indonesia dan sangat cocok ditanam di lahan gambut dangkal. Pengembangan sagu di lahan gambut terdegradasi dapat meningkatkan ketahanan pangan sambil melakukan restorasi ekosistem. Dengan demikian, diversifikasi komoditas menjadi kunci, beralih dari dominasi beras ke jagung, singkong, umbi-umbian, dan komoditas bernilai ekonomi tinggi lainnya yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Model bisnis yang mendukung juga harus diubah. Pendekatan korporasi petani yang memerlukan sertifikat hak milik (SHM) sebagai syarat, seperti yang diterapkan di Kalimantan Tengah, telah terbukti mengecualikan banyak petani miskin dan pemilik hak adat yang tidak memiliki dokumen formal. Model kemitraan yang melibatkan perusahaan besar seringkali merugikan petani karena struktur pembayaran yang tidak transparan dan ketergantungan pada utang. Pendekatan ideal menyarankan pengembangan model bisnis yang lebih inklusif dan adil. Misalnya, pengembangan multibisnis terpadu (pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan) yang disarankan Yeny et al. (2022) dapat meningkatkan pendapatan petani dan menyebar risiko. Fokus pada perbaikan infrastruktur irigasi dan jalan saja tidak cukup tanpa disertai diseminasi pengetahuan tentang pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dan bantuan teknis yang tepat guna. Selain itu, penguatan kapasitas petani melalui pelatihan pengetahuan, keterampilan, dan pendampingan menjadi hal mutlak. Transformasi digital pertanian, seperti penggunaan drone dan GPS untuk pertanian presisi, serta aplikasi mobile untuk pendampingan dan pasar, dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, namun harus diperkenalkan secara bertahap dan inklusif agar tidak meninggalkan belakang para petani yang kurang akrab dengan teknologi. Dengan memilih teknologi dan model bisnis yang sesuai dengan konteks lokal, food estate dapat menjadi motor pembangunan yang berkelanjutan, bukan ancaman bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Perbandingan Model
Pertanian
Pendekatan
Tradisional/Intensif
Pendekatan Ideal
Agroekologi
Tujuan UtamaProduksi komoditas
tunggal (mis. beras)
dalam volume besar
Diversifikasi komoditas, ketahanan pangan, dan kesejahteraan ekonomi
Komoditas UnggulanPadi sawah (terutama di lahan gambut), jagung,
singkong
Sagu, umbi-umbian,
hortikultura, per-
kebunan kayu (sengon),
perikanan air payau
Metode TeknisCetak sawah, kanal
drainase, pengeringan
lahan, penggunaan
pupuk kimia
Paludikultur (menjaga
lahan basah), sistem
agroforestri, wanamina,
rotasi tanaman
Pengelolaan AirPengeringan lahan (<0.4m dari permukaan)
untuk pertanian
konvensional
Pelembaban lahan (>0.4m dari permukaan)
untuk menjaga fungsi
ekosistem
Produktivitas (Contoh)Padi di lahan gambut:
1.5–3.2 ton/ha
Sagu di lahan gambut:
potensi tinggi,
komoditas lokal
Resiko UtamaDegradasi lahan, ke-
bakaran hutan & lahan,
emisi karbon tinggi,
subsidence
Resiko rendah, fokus
pada restorasi dan
konservasi ekosistem

Reformasi Tata Kelola dan Regulasi: Mewujudkan Transparansi dan Tanggung Jawab

Pendirian sebuah food estate yang berhasil tidak hanya bergantung pada kebijakan lingkungan dan partisipasi masyarakat, tetapi juga pada reformasi mendasar dalam tata kelola dan regulasi. Banyak proyek sebelumnya gagal karena fragmentasi kelembagaan, kurangnya koordinasi antar-pihak, dan lemahnya pengawasan. Pendekatan ideal menuntut adanya kerangka tata kelola yang terintegrasi, transparan, dan akuntabel, di mana tanggung jawab dan wewenang semua pemangku kepentingan jelas terdefinisi. Salah satu tantangan utama adalah adanya benturan aturan, seperti Peraturan Menteri LHK No. 24 Tahun 2020 yang memperbolehkan alih fungsi kawasan hutan lindung untuk food estate, sedangkan UU Kehutanan No. 41/1999 dan PP No. 71/2014 justru melarangnya. Hal ini menciptakan situasi hukum yang ambigu dan memungkinkan terjadinya pelanggaran.

Oleh karena itu, langkah pertama dalam reformasi tata kelola adalah harmonisasi peraturan-peraturan tersebut. Semua izin dan perizinan harus diterbitkan berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang komprehensif dan inklusif, seperti KLHS Cepat untuk Eks-PLG di Kalimantan Tengah, namun tanpa mengorbankan kehati-hatian dan analisis mendalam. KLHS harus melibatkan semua stakeholder, termasuk pemerintah daerah, masyarakat adat, dan lembaga swadaya masyarakat, sejak tahap awal. Selain itu, perlu dibentuk mekanisme resolusi konflik yang partisipatif dan adil, bukan hanya bergantung pada peraturan yang sudah ada tetapi belum efektif. Implementasi yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan di Kalimantan Tengah, misalnya, menimbulkan tantangan karena tidak ada rencana induk dari pusat, sehingga peran pemerintah daerah terbatas.

Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar utama dari tata kelola yang baik. Pendekatan ideal menuntut publikasi data yang lengkap dan akurat, mulai dari lokasi spesifik proyek, luasan lahan yang dialihfungsikan, sampai kepada anggaran yang digunakan dan dampak sosial-lingkungannya. Ada banyak contoh kegagalan transparansi, seperti klaim luasan lahan food estate yang simpang siur antara pihak pemerintah (900.000 ha, 600.000 ha, 165.000 ha) dan minimnya keterbukaan data membuat sulit bagi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan. Pendekatan ideal memerlukan adanya sistem monitoring dan evaluasi partisipatif, di mana indikator keberhasilan tidak hanya meliputi produksi pangan, tetapi juga ketersediaan benih lokal, peran perempuan, dan ketersediaan cadangan pangan komunitas, sebagaimana diajukan oleh API. Dalam hal finansial, pendanaan proyek sebaiknya tidak hanya bergantung pada utang luar negeri, yang dapat menambah beban utang negara, tetapi juga melibatkan pendanaan dari APBN/APBD dan skema pembiayaan berkelanjutan.

Terakhir, reformasi tata kelola harus mencakup penegakan hukum yang konsisten dan adil. Banyak proyek food estate dilindungi oleh status Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga dikecualikan dari sanksi administratif meskipun merusak lingkungan menurut UU No. 32/2009. Hal ini menciptakan persepsi bahwa proyek-proyek tersebut di atas hukum. Pendekatan ideal menolak praktik ini dan menegaskan bahwa semua proyek, termasuk PSN, harus tunduk pada hukum lingkungan dan hukum agraria. Penegakan hukum harus melibatkan masyarakat sipil dan lembaga otonom seperti Dewan Persidangan Rakyat Daerah (DPRD) dan Komisi Informasi Daerah. Dengan menerapkan tata kelola yang terbuka, transparan, dan akuntabel, pemerintah dapat membangun kepercayaan dengan masyarakat dan memastikan bahwa food estate tidak lagi menjadi alat untuk korupsi, konflik, dan kerusakan, melainkan sebagai instrumen pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Memulihkan Hak Masyarakat: Prinsip Hak Atas Tanah dan Keadilan Sosial

Inti dari pendekatan ideal untuk food estate terletak pada pengakuan dan pemulihan hak-hak masyarakat lokal. Sejarah panjang proyek-proyek food estate di Indonesia, mulai dari PLG era Soeharto hingga MIFEE era SBY dan food estate era Jokowi, diwarnai oleh pelanggaran hak ulayat, konflik agraria, dan marginalisasi terhadap masyarakat adat. Di Kalimantan Tengah, warga di Desa Kalumpang dipaksa menyerahkan lahan tanpa jaminan perlindungan. Di Merauke, program ini dianggap sebagai bentuk “pembajakan pangan” (food colonization) yang merampas tanah adat Malind Anim dan menyebabkan konflik perburuhan anak, HIV/AIDS, dan ISPA. Di Sumatera Utara, masyarakat adat Desa Ria-Ria melakukan perlawanan hukum karena proyek food estate mengancam tanah adat mereka. Pendekatan ideal harus menempatkan pemulihan keadilan sosial dan pengakuan hak atas tanah sebagai prioritas utama, bukan sebagai akibak dari sebuah kebijakan.

Langkah pertama adalah pengakuan dan penegakan hak tenurial yang sah. Hampir separuh dari 3.234 konflik agraria di Indonesia terjadi di atas lahan komunitas lokal. Banyak masyarakat adat memiliki warisan sejarah dan penggunaan lahan yang tidak tercermin dalam dokumen-dokumen formal. Pendekatan ideal menuntut adanya proses rekognisi lahan yang inklusif, di mana bukti-bukti adat dan penggunaan lahan selama puluhan tahun diakui sebagai valid. Proses ini harus melibatkan penguatan perhutanan sosial dan pengakuan hak pengelolaan tanah bagi masyarakat, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 18/2012 tentang Pangan. Pembentukan Korporasi Petani Serba Usaha (KUPS) atau lembaga pengelolaan lahan bersama antara masyarakat dan pemerintah, seperti yang direkomendasikan WALHI, dapat menjadi salah satu wadah untuk menjamin pengelolaan lahan yang adil dan berkelanjutan.

Kedua, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus diterapkan secara substantif, bukan hanya sebagai formalitas birokrasi. Artinya, masyarakat harus diberi waktu yang cukup, informasi yang lengkap, dan pemahaman yang mendalam tentang proyek sebelum memberikan persetujuan. Mereka harus diberi pilihan untuk menyetujui atau menolak proyek tanpa tekanan atau imbalan materiil yang sewenang-wenang. Proyek-proyek di masa lalu seringkali melanggar prinsip ini, seperti di Merauke di mana lahan dialihfungsikan tanpa persetujuan masyarakat adat, atau di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, di mana lahan food estate dibuka tanpa partisipasi petani lokal. Dengan menerapkan FPIC, pemerintah tidak lagi memperlakukan masyarakat sebagai obyek pembangunan, tetapi sebagai mitra strategis yang memiliki hak untuk menentukan masa depan wilayah mereka.

Ketiga, pendekatan ideal harus memperjuangkan keadilan distribusi manfaat. Banyak proyek food estate tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga meningkatkan ketimpangan sosial. Upah pekerja food estate seringkali sangat rendah, jauh di bawah pendapatan dari aktivitas ilegal seperti tambang emas, yang membuat masyarakat tertarik tetapi rentan terhadap eksploitasi. Model kemitraan seringkali tidak adil, membuat petani tergantung pada perusahaan besar dan menerima harga yang tidak layak. Pendekatan ideal menolak pendekatan top-down dan menggantinya dengan model-partisipatif inklusif yang melibatkan masyarakat sejak perencanaan, termasuk pemilihan komoditas yang ekonomis, sosial, dan ekologis bagi mereka sendiri. Keterlibatan perempuan dan pemuda juga harus ditingkatkan melalui pelatihan, akses sumber daya, dan inklusi dalam pengambilan keputusan, karena mereka adalah garda depan dalam menjaga sistem pangan dan budaya lokal. Dengan memulihkan hak-hak masyarakat dan membangun tata kelola yang adil, food estate dapat bertransformasi dari simbol dominasi negara dan korporasi menjadi sebuah alat keadilan sosial dan pemberdayaan rakyat.

Kesimpulan: Sinergi Antara Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi untuk Kedaulatan Pangan Sejati

Setelah menganalisis berbagai aspek, dapat disimpulkan bahwa pendekatan ideal untuk pengembangan food estate di Indonesia bukanlah sekadar modifikasi pada proyek-proyek lama, melainkan sebuah revolusi paradigma yang mendasar. Pendekatan ini harus berpijak pada empat pilar utama yang saling mendukung: (1) landasan moral berwawasan strong sustainability, (2) integrasi sosial-budaya yang mendaulatkan pengetahuan lokal, (3) rekonstruksi teknologi menuju agroekologi berkelanjutan, dan (4) reformasi tata kelola yang berpihak pada keadilan dan transparansi. Hanya dengan sinergi ketat antara ketiga pilar ini — lingkungan, sosial, dan ekonomi — kita dapat mencapai kedaulatan pangan yang sejati, bukan sekadar kemandirian impor.

Pendekatan ideal menolak keras pandangan bahwa ketahanan pangan harus dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa pelestarian modal alam adalah syarat mutlak untuk ketahanan pangan jangka panjang. Dengan menerapkan prinsip strong sustainability, kita harus melarang keras ekstensifikasi lahan di kawasan lindung seperti hutan primer dan lahan gambut >3 meter, karena hilangnya fungsi ekosistem tersebut adalah tidak dapat dibalik. Dengan demikian, pendekatan ideal tidak akan meminta pertanian lahan gambut, melainkan memilih lokasi-lokasi yang sesuai dan mengembangkan komoditas-komoditas alternatif yang ramah lingkungan, seperti sagu, melalui paludikultur.

Lebih dari itu, pendekatan ideal menempatkan manusia di pusat perencanaan. Ini berarti bahwa pengetahuan lokal, nilai-nilai budaya, dan kesejahteraan masyarakat adalah variabel yang tak terpisahkan dari perhitungan keberhasilan. Dengan menerapkan People Centred Development dan FPIC secara substansial, proyek tidak lagi menjadi keputusan elit yang diberlakukan pada masyarakat, tetapi sebuah proses kolaboratif di mana masyarakat aktif berpartisipasi dalam menentukan visi dan tujuan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga lokal seperti lumbung pangan desa dan koperasi tani adalah kunci untuk memastikan kontrol mereka atas rantai nilai pangan.

Akhirnya, pendekatan ideal adalah tentang transformasi sistem. Ia menolak model monokultur intensif dan korporatisasi petani, serta beralih ke model agroekologi terpadu yang mendiversifikasi komoditas dan meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi iklim dan pasar. Tata kelola yang baru harus transparan, akuntabel, dan berlandaskan pada hukum yang jelas dan adil, memastikan bahwa semua pihak, dari petani hingga investor, tunduk pada standar yang sama. Dengan menggabungkan ketiga pilar ini, kita dapat melangkah jauh dari jejak kegagalan masa lalu dan menuju sebuah visi masa depan di mana food estate tidak hanya memproduksi pangan, tetapi juga melestarikan alam, memuliakan manusia, dan membangun masyarakat yang tangguh dan sejahtera.

error: Content is protected !!