Serangan 7 Oktober 2023: Badai yang Mengubah Timur Tengah

Share:

Pagi tanggal 7 Oktober 2023, saat sinar matahari baru saja menyapa perbatasan Gaza-Israel, suara ledakan menggelegar memecah keheningan. Ribuan roket meluncur dari Gaza menuju kota-kota Israel selatan, sementara ribuan militan bersenjata menyusup melalui pagar perbatasan, menerobos pos militer, dan menyerbu festival musik yang ramai. Ini bukan serangan biasa; ini adalah invasi terkoordinasi terbesar sejak Perang Arab-Israel 1948, yang dikenal sebagai “Operasi Banjir Al-Aqsa” oleh Hamas, atau “Pembantaian Simchat Torah” di Israel. Dalam hitungan jam, lebih dari 1.200 nyawa melayang, ratusan orang disandera, dan dunia menyaksikan ledakan konflik yang masih bergema hingga hari ini, dua tahun kemudian.

Serangan ini bukan hanya tragedi bagi Israel, tapi juga pemicu krisis kemanusiaan terburuk di Gaza, yang menewaskan puluhan ribu orang dan mengubah peta geopolitik Timur Tengah. Bagaimana sebuah kelompok militan seperti Hamas bisa mengejutkan negara dengan intelijen canggih seperti Israel? Dan apa warisannya di 2025, saat gencatan senjata rapuh dan trauma masih membekas?

Artikel ini mengandalkan sumber dari berbagai perspektif—dari media Israel seperti The Times of Israel, outlet Palestina seperti Al Jazeera, hingga laporan netral dari BBC dan Wikipedia—kita akan melihat narasi lengkap: bukan hanya korban Israel, tapi juga penderitaan Gaza dan akar masalah yang mendalam.

Latar Belakang: Akar yang Tumbuh dalam Darah dan Besi

Konflik Israel-Palestina bukanlah cerita baru; ia seperti pohon beringin yang akarnya menjalar sejak akhir abad ke-19, saat gerakan Zionis mencari tanah air bagi orang Yahudi di Palestina Ottoman. Setelah Holocaust dan pembentukan Israel pada 1948—yang disebut Nakba (bencana) oleh Palestina, di mana 700.000 warga Palestina mengungsi—ketegangan tak pernah reda. Israel menduduki Gaza dan Tepi Barat pada Perang Enam Hari 1967, dan Gaza tetap berada di bawah blokade Israel sejak 2007, saat Hamas merebut kendali dari Otoritas Palestina.

Hamas, atau Harakat al-Muqawama al-Islamiyya (Gerakan Perlawanan Islam), lahir pada 1987 sebagai cabang Ikhwanul Muslimin. Awalnya fokus pada layanan sosial seperti sekolah dan rumah sakit, tapi segera berubah menjadi kelompok militan yang menolak keberadaan Israel, meski piagam barunya pada 2017 menyatakan kesediaan untuk negara Palestina dalam batas 1967. Bagi banyak negara Barat—termasuk AS, UE, dan Inggris—Hamas adalah organisasi teroris karena serangan roket, bom bunuh diri, dan penculikan sejak 1989. Dari perspektif Palestina, Hamas adalah simbol perlawanan terhadap pendudukan, blokade yang membuat 2 juta warga Gaza hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan kekerasan pemukim Israel yang merampas tanah di Tepi Barat.

Tahun 2023 menjadi puncak ketegangan. Pada April, bentrokan di Masjid Al-Aqsa—situs suci ketiga bagi Muslim—memicu roket dari Jihad Islam Palestina. Mei menyaksikan serangan roket terbesar sejak 2021. September, laporan The Washington Post menyebut Israel dan Hamas “di ambang perang” setelah penemuan bahan peledak di perbatasan Gaza, yang memicu penutupan ekspor dan memengaruhi ribuan keluarga Palestina. Meski Qatar, PBB, dan Mesir mediasi kesepakatan pembukaan perbatasan pada 29 September, peringatan dari Mesir tentang “ledakan besar” diabaikan Israel—meski Komite Hubungan Luar Negeri AS klaim peringatan diberikan tiga hari sebelumnya.

Kegagalan intelijen Israel menjadi sorotan. The New York Times melaporkan bahwa rencana serangan detail telah diperoleh setahun sebelumnya, termasuk penggunaan drone untuk melumpuhkan pengawasan dan paraglider untuk invasi—semua dieksekusi hampir persis. Shin Bet mengabaikan peringatan internal, sementara fokus IDF pada situs roket mengabaikan latihan militer Hamas yang diposting di media sosial. Dari sisi Hamas, serangan ini direncanakan dua tahun di jaringan terowongan “Gaza Metro”, dengan tujuan menghentikan normalisasi Israel-Arab Saudi dan membangkitkan perlawanan Palestina. Iran dituduh mendukung, meski dibantah, sementara kelompok lain seperti PFLP dan Jihad Islam ikut serta.

Kronologi: Jam-Jam Neraka di Pagi Simchat Torah

Serangan dimulai pukul 6:30 pagi waktu Israel (03:30 GMT), saat Mohammed Deif, komandan Brigade Al-Qassam Hamas, mengumumkan “Operasi Banjir Al-Aqsa” melalui rekaman suara. Ia menuduh Israel blokade 16 tahun Gaza, serangan di Tepi Barat, kekerasan di Al-Aqsa, dan dukungan Barat—semua untuk “mengakhiri pendudukan terakhir di Bumi”. Seketika, 5.000 roket (menurut Hamas) atau 4.300 (menurut Israel) meluncur, menewaskan 12 orang dan melukai puluhan, termasuk warga Bedouin di Negev. Sirene meraung di Beersheba, Yerusalem, Tel Aviv—bahkan mencapai Gedera di utara.

Di saat yang sama, sekitar 6.000 militan—termasuk 3.800 petarung elit Nukhba dan 2.200 warga sipil—menyerbu di 119 titik perbatasan. Mereka menggunakan paraglider, perahu motor, sepeda motor, dan buldoser untuk merobohkan pagar. Target utama: 21 komunitas perbatasan seperti Be’eri, Kfar Aza, Nir Oz; pos militer seperti Re’im (markas Divisi Gaza); dan Festival Musik Nova di dekat Kibbutz Re’im, yang dihadiri 3.500 pemuda.

  • 06:36-07:00: Serangan di Zikim (pantai), Nahal Oz (basis militer), dan Nir Oz. Militan membakar basis, menewaskan 53 tentara di Nahal Oz dan 17 warga sipil di kibbutz-nya. Di Nova, pukul 08:20, militan menembaki peserta yang melarikan diri, menewaskan 364 orang dan menyandera 44. Video menunjukkan orang-orang terjebak di kemacetan lalu lintas, ditembaki tanpa ampun.
  • 06:42: Pembantaian di Be’eri (132 tewas, 32 disandera) dan Kfar Aza (80 tewas, 19 disandera). Militan membakar rumah, menyeret warga dari tempat tidur. Di Sderot, polisi merebut stasiun polisi, menewaskan 30 orang.
  • Festival Musik Nova: Salah satu insiden paling tragis adalah serangan terhadap festival musik terbuka di dekat Reim, di mana ratusan pemuda Israel ditembak mati saat mereka mencoba melarikan diri, atau ditangkap dan dibawa ke Gaza.
  • Sepanjang hari: Di Ofakim, 33 tewas; Alumim, 62; Netiv HaAsara, 14. Serangan laut di Zikim gagal, tapi basis Re’im jatuh sementara. Hamas memposting video propaganda: militan dengan kamera tubuh, memamerkan sandera. Dokumen yang disita IDF mengungkap rencana invasi hingga 20 mil ke dalam Israel, termasuk serangan laut ke Ashkelon.

Sore hari, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan: “Kami sedang perang.” IDF memanggil 300.000 cadangan, tapi respons awal lambat—helikopter baru tiba sejam kemudian. Beberapa situs direbut kembali dalam hari itu, tapi Be’eri butuh dua hari, Kfar Aza tiga hari.

Korban: Wajah-Wajah di Balik Angka

Serangan menewaskan 1.195 orang (revisi dari 1.400 awal): 736 warga sipil Israel (termasuk 38 anak), 379 personel keamanan, dan 79 warga asing. Lebih dari 3.400 luka, 251 disandera (sekitar 250 warga Israel dan asing). Korban termuda: bayi 10 bulan Mila Cohen; tertua: penyintas Holocaust 91 tahun Yaffa Adar, yang disandera. Cerita tragis seperti Lior Asulin, pemain sepak bola yang tewas melindungi orang lain di Nova, atau Vivian Silver, aktivis perdamaian yang dibunuh di kibbutz-nya, menggambarkan kehancuran.

Atrocities dilaporkan: kekerasan seksual, pemerkosaan massal, pemenggalan (2-3 kasus dikonfirmasi), dan pembakaran hidup-hidup. UN menemukan “bukti wajar” untuk kekerasan seksual di beberapa lokasi, meski bukan sistematis. Hamas membantah, sementara tuduhan seperti “bayi dipenggal” terbukti hoaks. Dari sisi IDF, “Direktif Hannibal” menyebabkan 14 kematian sipil Israel akibat tembakan ramah.

Di pihak Hamas, Israel klaim 1.600 petarung tewas. Tapi narasi Palestina menekankan balasan Israel: 230 tewas di Gaza hari pertama.

Respons Israel: Dari Pembalasan ke Perang Total

Israel memotong listrik Gaza (80%), membom sasaran Hamas pukul 09:45. Netanyahu bersumpah “mengubah Gaza menjadi pulau kosong”, meski evakuasi sipil diperintahkan. Operasi “Pedang Besi” diluncurkan: invasi darat, pembunuhan pemimpin seperti Yahya Sinwar (Oktober 2024). Dua tahun kemudian, pada 2025, gencatan senjata singkat membebaskan 30 sandera hidup dan 8 mayat, tukar 1.900 tahanan Palestina. Tapi 48 sandera tersisa, 20 diyakini hidup.

Kegagalan intelijen memicu investigasi: Shin Bet akui “penolakan dan pengabaian”. Ramah api tewaskan sekelima korban IDF awal.

Dampak: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Kemanusiaan: Di Israel, 300.000 mengungsi, trauma massal—disebut “9/11 Israel”. Di Gaza, perang tewaskan >67.000 (menurut Kementerian Kesehatan Hamas, kebanyakan sipil), kelaparan, dan kehancuran—UN sebut “krisis terburuk”. Dua tahun on, Gaza hancur, tapi Hamas bertahan.

Politik: Netanyahu selamat dari protes, tapi ICC minta surat tangkap untuknya atas tuduhan genosida (ditolak Israel). Serangan hentikan normalisasi Saudi-Israel, tapi picu serangan Hizbullah dan Iran. Di AS, Biden dukung Israel tapi kritik eskalasi; Trump sebut bom Gaza “kesalahan besar”.

Ekonomi: Israel rugi miliaran dolar; Gaza lumpuh total. Global, antisemitisme naik, tapi solidaritas Yahudi juga.

Dampak di Israel: Trauma dan Persatuan. Di Israel, hari itu dikenal sebagai “Sabtu Hitam.” Kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan militernya untuk melindungi warga hancur total. Serangan ini memicu trauma nasional yang mendalam, mengingatkan pada ketakutan terburuk dalam sejarah Yahudi. Pemerintah Israel segera membentuk kabinet perang dan mendeklarasikan perang total, bersumpah untuk menghancurkan Hamas.

Dampak di Gaza: Pembalasan dan Bencana Kemanusiaan. Sebagai respons, Israel meluncurkan serangan udara dan darat skala besar ke Jalur Gaza. Tujuannya: melenyapkan Hamas dan membebaskan sandera. Namun, respons militer Israel telah menyebabkan kehancuran infrastruktur yang luas dan krisis kemanusiaan yang parah di Gaza, dengan puluhan ribu korban jiwa, jutaan pengungsi internal, dan kekurangan makanan, air, serta obat-obatan yang ekstrem.

Dampak Global: Polarisasi dan Guncangan Politik. Di kancah internasional, serangan ini memicu gelombang dukungan kuat terhadap Israel dari negara-negara Barat, yang mengecam tindakan Hamas sebagai terorisme. Namun, serangan balasan Israel di Gaza juga memicu gelombang protes global dan meningkatkan dukungan terhadap Palestina, memperdalam perpecahan geopolitik. Upaya normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab terhenti, dan ancaman konflik regional yang lebih luas meningkat.

Reaksi Internasional: Suara yang Terbelah

44 negara, termasuk AS-UE, kutuk Hamas sebagai teror. Arab seperti Qatar dan Iran salahkan “pendudukan Israel”; polling Saudi: 95% tak percaya Hamas bunuh sipil. UN kritik kedua pihak atas kejahatan perang, tapi lambat sebut kekerasan seksual Hamas. Di 2025, AS bentuk Pasukan Tugas Gabungan 7 Oktober untuk keadilan.

Kesimpulan: Pelajaran dari Abu yang Masih Menyala

Dua tahun setelah 7 Oktober, dunia berubah: Israel lebih terisolasi tapi tegas, Gaza hancur tapi perlawanan bertahan, dan Timur Tengah di ambang perubahan—or chaos. Serangan ini ingatkan bahwa kedamaian tak lahir dari kekerasan, tapi dialog. Seperti kata analis Seth Frantzman, jangan “memelihara kelompok ekstremis” yang radikalisasi masyarakat. Bagi korban di kedua sisi, harapan ada pada pembebasan sandera, rekonstruksi Gaza, dan akhir pendudukan. Hingga kini, bayang-bayang 7 Oktober mengajak kita bertanya: Apakah umat manusia belajar dari neraka ini?


Israel’s Shocking Discovery? Grenade From October 7 Found On Kibbutz Be’eri After Nearly Two Years | TIMES NOW
error: Content is protected !!